BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Allah swt telah mewahyukan Al-qur'an kepada Nabi Muhammad SAW yang
berisi perintah dan larangan untuk menjadi pedoman hidup ummat manusia, barang
siapa yang mengikutinya akan selamat di dunia dan akherat dan bagi manusia yang
tidak menundukkan dirinya kepada aturan Al-qur'an akan dimurkai oleh Allah SWT.
Dalam Islam dalil utama yang digunakan oleh fuqaha untuk
mengistimbat hokum-hukum adalah Al-qur'an, bila dalam Al-quran tak di atur atau
tidak di perdapatkan hokum maka dalil berikutnya yang akan digunakan oleh
mufassir adalah Al-Hadis. Sekiranya dalam hadispun tak diperdapatkan
ketentuan-ketentuan hokum yang dikaji maka dalil berikutnya adalah Ijma dan
Qias.
Al-qur'an, Hadis, Ijma' dan Qias merupakan dalil-dalil syara' yang sudah di sepakati oleh para para jumhur fuqaha untuk menggali hokum-hukum syara' sebagai jawaban terhadap hokum-hukum yang belum ada ketentuannya.
Al-qur'an, Hadis, Ijma' dan Qias merupakan dalil-dalil syara' yang sudah di sepakati oleh para para jumhur fuqaha untuk menggali hokum-hukum syara' sebagai jawaban terhadap hokum-hukum yang belum ada ketentuannya.
Di samping dalil-dalil syara' yang sudah disepakati oleh jumhur
masih terdapat banyak sangat dalil-dalil syara' yang masih di persilisihkan
oleh jumhur ulamak apakah boleh menjadi dalil syara' atau tidak boleh seperti
Al- istihsan, Al-maslahah mursalah, Al- Istishab, Al-Urf, Al Mazhahib Shahabi,
Al-Ahlul Madinah dan As-Syar'u man qablana.
Dalam tulisan ini akan diuraikan perkara-perkara tentang
Al-Istishab, Al-MAzhahib Shahabi dan Al-Ahlul Madinah. Tajuk ini disusun
sebagai salah satu tugas subjek Filsafat Hukum Islam.
2.2 Rumusan masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah:
1.
Apa yang
dinamakan dengan Istishab?
2.
Jelaskan
macam-macam Istishab?
3.
Apa
dasar-dasar istishab?
4.
Bagaimana
Pandangan Ulama tentang istishab?
5.
Sebutkan contoh
Istishab?
1.3 Tujuan
Berdasarkan masalah diatas, maka tujuan ditulisanya makalah ini
adalah untuk:
1.
Mengetahui
pengertian Istishab
2.
Dapat
menjelaskan Macam-macam Istishab
3.
Mengetahui
Dasar-dasar Istishab
4.
Mengetahui
bagaimana pandangan ulama tentang Istishab
5.
Dapat
menyebutkan contoh Istishab
BAB 11
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
istishab
Kata istishab secara etimologi berarti “pengakuan kebersamaan” atau
“meminta secara terus-menerus”. Menurut Abu Luis: (استصحب- يَسْتَصحب – استصحبه: لازمه و لينه)
yang berarti menuntut kebersamaan atau terus menerus bersama. Dalam
kitab Al-Masbah al-Munir diartikan: (كل شيئ لازم شيئا فقد استصحبه) segala sesuatu yang menetapi sesuai maka ia menemaninya. Dalam
istilah ahli ushul adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya
sampai ada dalil yang menunjukan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum
sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukan adanya
perubahan. Menurut abdul karim zaidan, ahli ushul fiqh berkebangsaan mesir,
istishab berarti:
استدامة اثبا ت
ما كان ثا بتا او نفي ما كان منفيا
“Menganggap tetapnya
status sesuatu seperti keadaanya semula selama belum terbukti ada
sesuatu yang mengubahnya”.[1]
Definisi lain yang senada
dengan yang di kemukakan oleh
ibnu al-Qayyim al-jawziyah(w.751 H),tokoh usul fiqih Hanbali,yaitu “menetapnya
berlakunya suatu hokum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah
kedudukannya”.Misalnya, seseorang yang di ketahui masih hidup pada masa
tertentu, tetap di anggap hidup pada masa sesudahnya selama belum terbukti
bahwa ia telah wafat. Demikian halnya, seseorang yang sudah memastikan bahwa ia
telah berwudhu, dianggap tetap wudhunya
selama belum terjadi hal yang membuktikan batal wudhunya. Dalam hal ini, adanya
keraguan batalnya wudhu tanpa bukti yang nyata, tidak bisa mengubah
kedudukan hukum wudhu tersebut.
Secara istilah istishab dimaknai para ahli usul
sebagai berikut
Dalam kitab Abdul Wahab Khalaf mengartikan:
(الحكم على الشيء بالحال التي كان عليها من قبل،
حتى يقوم دليل على تغير تلك الحال)
Hukum atas sesuatu yang sesuai atas kondisi
tertentu yang disesuaikan dengan kondisi hukum atasnya pada hal yang sama
sebelumnya, dan status hukum atas sesuatu tersebut akan berubah jika kondisi
yang memunculkan hukum tersebut juga berubah. [2]
Imam al-Asnawi memberikan devinisi:
أن الإستصحاب عبارةٌ عن الحكمِ يـُثْبِتُوْن
أمرًا في الزمان الثاني بناءً على ثبوته في الزمان الأوّل لعدم وجود ما يصلح
للتغيـير
“Istishab ialah melanjutkan keberlangsungan hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena adanya dalil, dan (bisa diubah) bila ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
“Istishab ialah melanjutkan keberlangsungan hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena adanya dalil, dan (bisa diubah) bila ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
Imam Ibnu Qayyim:
إن الإستصحاب استدامه إثباتٌ ما كان ثابتا أو نَفْيَ ما كان مُنْتَفِياً حتى يقومَ دليلٌ على تغيّر الحالة .
“Istishab
adalah menetapkan berlakunya hukum yang telah ada, atau meniadakan apa yang
memang tiada sampai adanya dalil yang dapat mengubah kedudukan berlakunya hukum
tersebut.
Mengharuskan tetapnya (hukum) sesuatu yang sudah nyata adanya atau tidak nyata adanya dalam suatu hal yang berlaku karena tidak adanya ketetapan perubahan. Dengan kata lain, istishab adalah tetap berlakunya suatu hukum yang sudah ada di masa lalu karetetap berlakunya suatu hukum yang sudah ada di masa lalu karena tidak adanya hukum baru sesudahnya. Istishab merupakan suatu istilah baku dalam ilmu ushul fikih, khususnya ketika membicarakan dalil-dalil hukum Imam Syafi’i. Oleh ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan ulama-ulama Syi’ah, istishab digunakan sebagai salah satu dalil syarak (hukum Islam) sedangkan Madzhab Imam Hanafi tidak menerima istishab dalam mengehujahi hukum.
Mengharuskan tetapnya (hukum) sesuatu yang sudah nyata adanya atau tidak nyata adanya dalam suatu hal yang berlaku karena tidak adanya ketetapan perubahan. Dengan kata lain, istishab adalah tetap berlakunya suatu hukum yang sudah ada di masa lalu karetetap berlakunya suatu hukum yang sudah ada di masa lalu karena tidak adanya hukum baru sesudahnya. Istishab merupakan suatu istilah baku dalam ilmu ushul fikih, khususnya ketika membicarakan dalil-dalil hukum Imam Syafi’i. Oleh ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan ulama-ulama Syi’ah, istishab digunakan sebagai salah satu dalil syarak (hukum Islam) sedangkan Madzhab Imam Hanafi tidak menerima istishab dalam mengehujahi hukum.
Maka
dapat disimpulkan bahwa istishhab adalah menetapkan sesuatu hukum atas suatu
peristiwa hukum berdasarkan keadaan yang menyertainya yang sudah berlangsung
sebelumnya, hingga ditemukan dalil yang menunjukkan perubahan adanya perubahan
status hukum atas peristiwa hukum tersebut. Maka status awal hukum multi level
marketing, sewa-menyewa, jasa toilet umum, bursa saham, dll adalah boleh (إباحة) sebab landasan teorinya adalah (الأصل في الشيء إباحة) asal hukum dari
segala sesuatu adalah dibolehkan, hingga ditemukan dalil yang mengharamkannya.
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya
adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di
masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku
sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau
mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita
tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut,
kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil
tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah
melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau
nanti.
B.
Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya
Kaidah-kaidah
istishab الاصل antara lain:
·
بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما
يفيره
”pada
asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah
ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
·
الاصل في الاشياء الا باحة
“pada asalnya hukum segala sesuatu
itu boleh.”
·
الاصل في الانسان البراءة
“manusia
pada asalnya adalah bebas dari beban.”
·
بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت
باليقين لايزول
“apa
yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena
keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
C.
Contoh-contoh Istishab
1.
Telah
terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah
dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah
itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin
dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara
A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
2.
Seorang yang
ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Dalam masalah ini, ia harus
berpegang pada ketentuan humum asal, yaitu “belum berwudhu”.
3.
Seorang yang
sudah berwudlu kemudian ragu-ragu apakah batal atau tidak maka hendaklah
menetapkan hukum yang awal yaitu ada wudlu.
4.
seorang yang
telah yakin bahwa adia telah berwudhu, dianggap tetap berwudhu selama tiada
bukti yang membatalkan wudhunya keraguan atas was-wasnya tidak membatalkan
wudhu tersebut.
D.
Dasar-dasar
Istishab
1. Dalil
dari al-Qur’an
“Katakanlah:
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”
Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat .” Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Al-‘Araf: 32)
2. Dalil
dari al-Hadits
“إِذَا وَجَـدَ أَحَدُكُمْ فِي بَـطْبه شيئاً فَأَشْكَلَ عَلَـيْهِ أَخْرَجَ شَيْءٌ مِنْهُ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً أَوْ يَجِدَ رِيْـحاً.”
“Jika seseorang merasakan sakit perutnya lalu ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka jangan sekali-kali keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium baunya.”
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang
mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai
terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C,
maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan
pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal
dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab
itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk
menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk
menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah
pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian
halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah.
E.
Macam-macam
istishab
Muhammad abu Zahra menyebutkan 4 macam istishab seperti berikut:[3]
1.
Istishab, al
ibahah al-ashliyah. Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu
ya yaitu mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan
hokum di bidang muamalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang menyatakan,
bahwa hokum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehiddupan
manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya makanan, minuman,
hewan, tumbuh tumbuhan, dan lain lain selama tidak ada dalil yang melarangnya,
adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan ayat
29 surat Al-Baqarah:
هو الذي خلق لكم ما في الارضي جميعا(البقرة :29
“Dialah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…. (QS.Al-baqarah:2/29)
Ayat tersebut memnegaskan bahwa seala yang ada di bumi di jadikan
untuk umat manusia dalam pengrtian boleh
di makan makananya atau boleh di lakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi
kehidupan manusia.
1.
Istishab
al-baraah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada
dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang
mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti
yang mengubah statusnya itu.
2.
Istishab
al-hmukm , yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukumyang sudah
ada selama tidak ada bukti uang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang memiliki
sebidang tanah, atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu
tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status
hukum itu, seperti dijual atau dihibahkanya kepada pihak lain.
2.
Istishab
al-wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang
diketahui ada sebelumnya sampai ada
bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang
hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.
F. Rukun-rukun
istishab
1. Ada atau
tidak adanya sesuatu
Ada atau tidaknya hukum yang berlaku pada
sesuatu
2. Masa
lalu
Adanya hukum asal pada masa lalu
3. Masa
sekarang
Adanya hukum sekarang yang merubah dari hukum
asal pada masa lalu
4. Berlanjut
Suatu hukum bersifat berlanjut dan akan berlaku
selamanya
5. Tidak
ada yang bisa menghentikan
Suatu hukum yang sudah berlaku bersifat
mengikat dan tidak ada yang bisa mengganti hukum tersebut dengan hukum yang
lainya.
G. Pandangan
Ulama’ Seputar Aplikasi Istishab Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Hukum
Islam
Ulama’
Hanafiah menetapakan bahwa Istishab merupakan Hujjah untuk menetapkan apa-apa
yang di maksud oleh mereka.Jadi Istishab merupakan ketetapan sesuatu yang telah
ada semula dan juga mempertahan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang
menetapkan atas perbedaanya.[4]
Istishab
bukanlah Hujjah untuk
menetapka sesuatu yang tidak tetap telah di jelaskan tentang penetapan orang
yang hilang atau tidak di ketahui tempat tinggalnya.Istishab yang menentukan
atau menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dengan kematiannya.
“Dan Ia
telah memudahkan tiap-tiap yang di langit dan apa-apa yang ada di bumi
semuanya” (Al-Jatsiyyah : 13)
1. Boleh
Tidaknya Istishab dijadikan sebagai istinbath al-hukum asy-syar’i
a.
Mayoritas ulama’ dari kalangan Malikiyah, Hanbaliyah dan Syafi’iyah memandang
bahwa istihab bisa dijadikan landasan untuk istinbat-l-hukm, dengan catatan
belum ada dasar/dalil yang bisa merubahnya.
b.
Kalangan ‘ulama mutakallimin, seperti Hasan al-Bishri berpendapat, bahwa
istishhab tidak boleh digunakan sebagai hujjah hukum dalam beristinbath, hal
ini dikarenakan penentuan ada tidaknya hukum yang terdahulu harus dibuktikan
kebenaran dan keberadaannya dengan dalil.
c. Ulama
mutaakhirin sebagian besar dari kelompok al-Hanafiyah berpendapat bahwa
istishhab bukanlah hujjah yang tidak tetap yang digunakan dalam mengistinbathi
perkara hukum, namun ia hanya alat yang digunakan untuk melestarikan keputusan
hukum atas tersebut. Hal ini disebabkan dari pendapat mereka yang menyatakan
bahwa istishhab adalah hujjah dari ketetapan hukum yang sudah ada pada awalnya.
H.
Perbedaan
pendapat ulama’ tentang istishab para ulama’ ushul fiqh
seperti yang dikemukakan Muhammad Abu Zahra sepakat bahwa tiga
macam istishab diatas sah dijadikan landasan hukum. Mereka berbeda pendapat
pada macam yang ke empat, yaitu istishab al-wasf. Dalam hal ini ada dua
pendapat [5]
1.
Kalangan
Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa Istishab al-wasf dapat dijadikan
secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan
haknya yang sudah ada misalnya, seseorang yang hilang tidak tahu tempatnya,
tetap dianggap ruju, sampai terbukti bahwa ia telah wafat.
2. Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa istishab al-wasf
hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk
menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh diatas, orang yang hilang itu meskipun
ia di anggap masih hidup yang dengan itu istrinya di anggap sebagai istrinya
dan hartanya masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih
hidup, namun jika ada ahlinya warisnya yang wafat maka kadar pembagianya harus
di simpan dan belum dapat di nyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup.
I.
Kedudukan Istishhab Diantara
Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang
menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau
pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil
dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip
pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti
ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an,
kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan
(hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik
pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu
akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu
tetap berlaku.
Para ulamak telah berbeda penadapat dalam
menyatakan kedudukan istishab sebagai dalil syara' . kalangan ulamak dalam
mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi'I menjadikan istishab sebagai dalil yang
menetapkan hokum yang telah ada selama mana tidak ada dalil dalam menetapkan
hokum yang telah ada selama mana tidak dalil yang mengubahnya, baik secara
qath'I atau zhanni maka hokum itu tetap berlaku kerana di anadaikan belum ada
perubahan terhadapnya,
Manakala kalangan ulamak mutakallimin
menyatakan bahawa istishab tidak boleh di jadikan sebagai dalil kerana mereka
menyatakan hokum yang telah ditetapkan pada masa lalu mestilah bersandarkan
kepada dalil, begitu juga dalam menetapkan hokum dalam perkara sekarang dan
yang akan datang.
Pendapat ulamak mutaakhirin menyatakan boleh
menerima istishab sebagai hujjah untuk menetapkan hokum yang telah ada
sebelumnya dan menganggap hokum itu tetap berlaku pada masa datang sehingga ada
dalil mengubahnya, namun istishab tidak bolej digunakan menetapkan hokum yang
akan ada (baru).
Jadi berdasarkan pendapat ini sesuatu hokum
yang telah berlaku dan tidak ada dalil yang membatalkannya maka hokum tersebut
terus berjalan, namun dalam ianya tidak di pakai dalam menetapkan hokum yang
baru.
BAB 111
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah membaca dan memahami penjelasan diatas dapat kami
ambill kesimpulan bahwa Istishab dapat digunakan sebagai
dasar hukum setelah Al-qur’an,As-sunnah,Ijma’ dan Qiyas.Karena “Pangkal
sesuatu itu adalah boleh”Selama belum ada dalil yang merubah
ketetapan hukum tersebut,maka sesuatu itu tetap dihukumi boleh.Dengan catatan
selama tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan As-sunnah.
Kedudukan istishhab secara umum dapat
dikatakan sebagai salah satu pijakan
dan metode penggalian dan penyimpulan hukum dalam Islam. Dari uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa istishhab sebenarnya dapat digunakan sebagai
landasan hukum. Meskipun dalam beberapa bentuk istishhab terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan
argumentatif istishhab dalam Fikih Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf,
Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema
Risalah Press. 1996.
Efendi,
Satria, Ushul
Fiqh,
Al-imam
bin Muhammad al amdi, Al-ahkam fi ushulil Ahkam
Ibnu
Abdurrahman ibnu majid, ikhtiyaran ibnu qayyim al-ushuliyah
ya’kub
bin abdil Wahhab, Al-qawaid al-fiqhiyah