Sabtu, 30 Juni 2012

istishab


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Allah swt telah mewahyukan Al-qur'an kepada Nabi Muhammad SAW yang berisi perintah dan larangan untuk menjadi pedoman hidup ummat manusia, barang siapa yang mengikutinya akan selamat di dunia dan akherat dan bagi manusia yang tidak menundukkan dirinya kepada aturan Al-qur'an akan dimurkai oleh Allah SWT.
Dalam Islam dalil utama yang digunakan oleh fuqaha untuk mengistimbat hokum-hukum adalah Al-qur'an, bila dalam Al-quran tak di atur atau tidak di perdapatkan hokum maka dalil berikutnya yang akan digunakan oleh mufassir adalah Al-Hadis. Sekiranya dalam hadispun tak diperdapatkan ketentuan-ketentuan hokum yang dikaji maka dalil berikutnya adalah Ijma dan Qias.
            Al-qur'an, Hadis, Ijma' dan Qias merupakan dalil-dalil syara' yang sudah di sepakati oleh para para jumhur fuqaha untuk menggali hokum-hukum syara' sebagai jawaban terhadap hokum-hukum yang belum ada ketentuannya.
Di samping dalil-dalil syara' yang sudah disepakati oleh jumhur masih terdapat banyak sangat dalil-dalil syara' yang masih di persilisihkan oleh jumhur ulamak apakah boleh menjadi dalil syara' atau tidak boleh seperti Al- istihsan, Al-maslahah mursalah, Al- Istishab, Al-Urf, Al Mazhahib Shahabi, Al-Ahlul Madinah dan As-Syar'u man qablana.
Dalam tulisan ini akan diuraikan perkara-perkara tentang Al-Istishab, Al-MAzhahib Shahabi dan Al-Ahlul Madinah. Tajuk ini disusun sebagai salah satu tugas subjek Filsafat Hukum Islam.



2.2 Rumusan masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apa yang dinamakan dengan Istishab?
2.      Jelaskan macam-macam Istishab?
3.      Apa dasar-dasar  istishab?
4.      Bagaimana Pandangan Ulama tentang istishab?
5.      Sebutkan contoh Istishab?

1.3 Tujuan
Berdasarkan masalah diatas, maka tujuan ditulisanya makalah ini adalah untuk:
1.      Mengetahui pengertian Istishab
2.      Dapat menjelaskan Macam-macam Istishab
3.      Mengetahui Dasar-dasar Istishab
4.      Mengetahui bagaimana pandangan ulama tentang Istishab
5.      Dapat menyebutkan contoh Istishab








BAB 11
PEMBAHASAN
A.    Pengertian istishab
Kata istishab secara etimologi berarti “pengakuan kebersamaan” atau “meminta secara terus-menerus”. Menurut Abu Luis: (استصحب- يَسْتَصحب – استصحبه: لازمه و لينه) yang berarti menuntut kebersamaan atau terus menerus bersama. Dalam kitab Al-Masbah al-Munir diartikan: (كل شيئ لازم شيئا فقد استصحبه) segala sesuatu yang menetapi sesuai maka ia menemaninya. Dalam istilah ahli ushul adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya sampai ada dalil yang menunjukan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukan adanya perubahan. Menurut abdul karim zaidan, ahli ushul fiqh berkebangsaan mesir, istishab berarti:

استدامة اثبا ت ما كان ثا بتا او نفي ما كان منفيا
“Menganggap tetapnya  status sesuatu seperti keadaanya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya”.[1]

Definisi  lain  yang senada  dengan yang di kemukakan  oleh ibnu al-Qayyim al-jawziyah(w.751 H),tokoh usul fiqih Hanbali,yaitu “menetapnya berlakunya suatu hokum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang  memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya”.Misalnya, seseorang yang di ketahui masih hidup pada masa tertentu, tetap di anggap hidup pada masa sesudahnya selama belum terbukti bahwa ia telah wafat. Demikian halnya, seseorang yang sudah memastikan bahwa ia telah berwudhu, dianggap tetap  wudhunya selama belum terjadi hal yang membuktikan batal wudhunya. Dalam hal ini, adanya keraguan batalnya wudhu tanpa bukti yang nyata, tidak bisa  mengubah  kedudukan hukum wudhu  tersebut.

Secara istilah istishab dimaknai para ahli usul sebagai berikut 
Dalam kitab Abdul Wahab Khalaf mengartikan:
(الحكم على الشيء بالحال التي كان عليها من قبل، حتى يقوم دليل على تغير تلك الحال)
Hukum atas sesuatu yang sesuai atas kondisi tertentu yang disesuaikan dengan kondisi hukum atasnya pada hal yang sama sebelumnya, dan status hukum atas sesuatu tersebut akan berubah jika kondisi yang memunculkan hukum tersebut juga berubah. [2]
Imam al-Asnawi memberikan devinisi:
أن الإستصحاب عبارةٌ عن الحكمِ يـُثْبِتُوْن أمرًا في الزمان الثاني بناءً على ثبوته في الزمان الأوّل لعدم وجود ما يصلح للتغيـير
“Istishab ialah melanjutkan keberlangsungan hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena adanya dalil, dan (bisa diubah) bila ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
Imam Ibnu Qayyim:

إن الإستصحاب استدامه إثباتٌ ما كان ثابتا أو نَفْيَ ما كان مُنْتَفِياً حتى يقومَ دليلٌ على تغيّر الحالة .
“Istishab adalah menetapkan berlakunya hukum yang telah ada, atau meniadakan apa yang memang tiada sampai adanya dalil yang dapat mengubah kedudukan berlakunya hukum tersebut.
            Mengharuskan tetapnya (hukum) sesuatu yang sudah nyata adanya atau tidak nyata adanya dalam suatu hal yang berlaku karena tidak adanya ketetapan perubahan. Dengan kata lain, istishab adalah tetap berlakunya suatu hukum yang sudah ada di masa lalu karetetap berlakunya suatu hukum yang sudah ada di masa lalu karena tidak adanya hukum baru sesudahnya. Istishab merupakan suatu istilah baku dalam ilmu ushul fikih, khususnya ketika membicarakan dalil-dalil hukum Imam Syafi’i. Oleh ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan ulama-ulama Syi’ah, istishab digunakan sebagai salah satu dalil syarak (hukum Islam) sedangkan Madzhab Imam Hanafi tidak menerima istishab dalam mengehujahi hukum.
Maka dapat disimpulkan bahwa istishhab adalah menetapkan sesuatu hukum atas suatu peristiwa hukum berdasarkan keadaan yang menyertainya yang sudah berlangsung sebelumnya, hingga ditemukan dalil yang menunjukkan perubahan adanya perubahan status hukum atas peristiwa hukum tersebut. Maka status awal hukum multi level marketing, sewa-menyewa, jasa toilet umum, bursa saham, dll adalah boleh (إباحة) sebab landasan teorinya adalah (الأصل في الشيء إباحة) asal hukum dari segala sesuatu adalah dibolehkan, hingga ditemukan dalil yang mengharamkannya.
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
B.     Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya

Kaidah-kaidah istishab الاصل antara lain:
·         بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
·         الاصل في الاشياء الا باحة
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
·         الاصل في الانسان البراءة
“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”
·         بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
C.    Contoh-contoh Istishab

1.      Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
2.      Seorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Dalam masalah ini, ia harus berpegang pada ketentuan humum asal, yaitu “belum berwudhu”.
3.      Seorang yang sudah berwudlu kemudian ragu-ragu apakah batal atau tidak maka hendaklah menetapkan hukum yang awal yaitu ada wudlu.
4.      seorang yang telah yakin bahwa adia telah berwudhu, dianggap tetap berwudhu selama tiada bukti yang membatalkan wudhunya keraguan atas was-wasnya tidak membatalkan wudhu tersebut.

D.    Dasar-dasar Istishab
1.      Dalil dari al-Qur’an
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat .” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Al-‘Araf: 32)
2.      Dalil dari al-Hadits

    إِذَا وَجَـدَ أَحَدُكُمْ فِي بَـطْبه شيئاً فَأَشْكَلَ عَلَـيْهِ أَخْرَجَ شَيْءٌ مِنْهُ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً أَوْ يَجِدَ رِيْـحاً.”

“Jika seseorang merasakan sakit perutnya lalu ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka jangan sekali-kali keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium baunya.”
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah.

E.     Macam-macam istishab

Muhammad abu Zahra menyebutkan 4 macam  istishab seperti berikut:[3]
1.    Istishab, al ibahah al-ashliyah. Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu ya yaitu mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hokum di bidang muamalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang menyatakan, bahwa hokum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehiddupan manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh tumbuhan, dan lain lain selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan ayat 29 surat Al-Baqarah:
هو الذي خلق لكم ما في الارضي جميعا(البقرة :29

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…. (QS.Al-baqarah:2/29)

Ayat tersebut memnegaskan bahwa seala yang ada di bumi di jadikan untuk umat manusia dalam  pengrtian boleh di makan makananya atau boleh di lakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia.
1.      Istishab al-baraah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
2.      Istishab al-hmukm , yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukumyang sudah ada selama tidak ada bukti uang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang memiliki sebidang tanah, atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibahkanya kepada pihak lain.
2.      Istishab al-wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada  sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.
F.     Rukun-rukun istishab
1.      Ada atau tidak adanya sesuatu
Ada atau tidaknya hukum yang berlaku pada sesuatu
2.      Masa lalu
Adanya hukum asal pada masa lalu
3.      Masa sekarang
Adanya hukum sekarang yang merubah dari hukum asal pada masa lalu
4.      Berlanjut
Suatu hukum bersifat berlanjut dan akan berlaku selamanya
5.      Tidak ada yang bisa menghentikan
Suatu hukum yang sudah berlaku bersifat mengikat dan tidak ada yang bisa mengganti hukum tersebut dengan hukum yang lainya.

G.    Pandangan Ulama’ Seputar Aplikasi Istishab Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Hukum Islam
Ulama’ Hanafiah menetapakan bahwa Istishab merupakan Hujjah untuk menetapkan apa-apa yang di maksud oleh mereka.Jadi Istishab merupakan ketetapan sesuatu yang telah ada semula dan juga mempertahan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaanya.[4]
Istishab bukanlah Hujjah untuk menetapka sesuatu yang tidak tetap telah di jelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau tidak di ketahui tempat tinggalnya.Istishab yang menentukan atau menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dengan kematiannya.
Dan Ia telah memudahkan tiap-tiap yang di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya” (Al-Jatsiyyah : 13)
1. Boleh Tidaknya Istishab dijadikan sebagai istinbath al-hukum asy-syar’i
a. Mayoritas ulama’ dari kalangan Malikiyah, Hanbaliyah dan Syafi’iyah memandang bahwa istihab bisa dijadikan landasan untuk istinbat-l-hukm, dengan catatan belum ada dasar/dalil yang bisa merubahnya.
b. Kalangan ‘ulama mutakallimin, seperti Hasan al-Bishri berpendapat, bahwa istishhab tidak boleh digunakan sebagai hujjah hukum dalam beristinbath, hal ini dikarenakan penentuan ada tidaknya hukum yang terdahulu harus dibuktikan kebenaran dan keberadaannya dengan dalil.
c. Ulama mutaakhirin sebagian besar dari kelompok al-Hanafiyah berpendapat bahwa istishhab bukanlah hujjah yang tidak tetap yang digunakan dalam mengistinbathi perkara hukum, namun ia hanya alat yang digunakan untuk melestarikan keputusan hukum atas tersebut. Hal ini disebabkan dari pendapat mereka yang menyatakan bahwa istishhab adalah hujjah dari ketetapan hukum yang sudah ada pada awalnya.
H.    Perbedaan pendapat ulama’ tentang istishab para ulama’ ushul fiqh
seperti yang dikemukakan Muhammad Abu Zahra sepakat bahwa tiga macam istishab diatas sah dijadikan landasan hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat, yaitu istishab al-wasf. Dalam hal ini ada dua pendapat [5]

1.      Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa Istishab al-wasf dapat dijadikan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada misalnya, seseorang yang hilang tidak tahu tempatnya, tetap dianggap ruju, sampai terbukti bahwa ia telah wafat.
2.      Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh diatas, orang yang hilang itu meskipun ia di anggap masih hidup yang dengan itu istrinya di anggap sebagai istrinya dan hartanya masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika ada ahlinya warisnya yang wafat maka kadar pembagianya harus di simpan dan belum dapat di nyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup.

I.       Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku. 

Para ulamak telah berbeda penadapat dalam menyatakan kedudukan istishab sebagai dalil syara' . kalangan ulamak dalam mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi'I menjadikan istishab sebagai dalil yang menetapkan hokum yang telah ada selama mana tidak ada dalil dalam menetapkan hokum yang telah ada selama mana tidak dalil yang mengubahnya, baik secara qath'I atau zhanni maka hokum itu tetap berlaku kerana di anadaikan belum ada perubahan terhadapnya,
Manakala kalangan ulamak mutakallimin menyatakan bahawa istishab tidak boleh di jadikan sebagai dalil kerana mereka menyatakan hokum yang telah ditetapkan pada masa lalu mestilah bersandarkan kepada dalil, begitu juga dalam menetapkan hokum dalam perkara sekarang dan yang akan datang.
Pendapat ulamak mutaakhirin menyatakan boleh menerima istishab sebagai hujjah untuk menetapkan hokum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hokum itu tetap berlaku pada masa datang sehingga ada dalil mengubahnya, namun istishab tidak bolej digunakan menetapkan hokum yang akan ada (baru).
Jadi berdasarkan pendapat ini sesuatu hokum yang telah berlaku dan tidak ada dalil yang membatalkannya maka hokum tersebut terus berjalan, namun dalam ianya tidak di pakai dalam menetapkan hokum yang baru.













BAB 111
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah membaca dan memahami penjelasan diatas dapat kami ambill kesimpulan bahwa Istishab dapat digunakan sebagai dasar hukum setelah Al-qur’an,As-sunnah,Ijma’ dan Qiyas.Karena “Pangkal sesuatu itu adalah boleh”Selama belum ada dalil yang merubah ketetapan hukum tersebut,maka sesuatu itu tetap dihukumi boleh.Dengan catatan selama tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan As-sunnah.
Kedudukan istishhab secara umum dapat dikatakan sebagai salah satu pijakan dan metode penggalian dan penyimpulan hukum dalam Islam. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istishhab sebenarnya dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun dalam beberapa bentuk istishhab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan argumentatif istishhab dalam Fikih Islam.









DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996.
Efendi, Satria, Ushul Fiqh,
Al-imam bin Muhammad al amdi, Al-ahkam fi ushulil Ahkam
Ibnu Abdurrahman ibnu majid, ikhtiyaran ibnu qayyim al-ushuliyah
ya’kub bin abdil Wahhab, Al-qawaid al-fiqhiyah


[1] Satria effendi, ushul fiqh, 159
[2] Abdul wahhab khallaf, ilmu ushul fiqh,91
[3] Ya’kub bin abdil wahab, al qawaid al fiqhiyah
[4] Ibnu abdirrahman ibnu majid, ikhtiyaran ibnu qayyim al ushuliyah
[5] Al imam bin Muhammad al amdi, al ahkam fi ushulil ahkam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar