BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nikah merupakan sunnah Rosul Muhammad Saw, karenanya rosulullah
menganjurkan kepada umatnya untuk melakukan pernikahan untuk melanggengkan
keturunan atau memperbaiki keturunan, mencegah dari perzianahan dan demi
melaksakan sunnah rosul tadi yaitu nikah serta untuk berjihad dalam islam.
Namun dalam terjadinya suatau akad pernikahan dan adanya saksi serta mahar
sekaligus wali pada masing – masing pihak atau yang disebut dengan pernikahan,
tidak selamanya akan berjalan baik, lurus dan selalu dalam keadaan baik – baik
saja dalam suatu rumah tangga.
Tentunya pertikaian, pertentangan atau timbulnya permasalahan –
permasalahan dalam rumah tangga tidak lepas dari adanya perbedaan pendapat atau
faham, Sebagai salah satu contoh adalah ila’.
Adapun ila’ disini merupakan produk – produk hasil dari adanya masalah –
masalah yang terjadi dalam rumah tangga, sehingga dalam perjalanan pernikahan
dalam semua orang didunia ini tentunya tidak bisa lepas dari timbulnya maslah
dalam keluarga.
Selain itu dalam pembuatan makalah ini juga untuk memenuhi salah satu tugas
dari mata kuliah yaitu Tafsir Ahkam I. Dari makalah ini juga bertujuan sebagai
bahan bacaan dan pengayaan dari kajian – kajian dari bahasan mengenai ila’.
A.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latarbelakang yang telah dideskripsikan, maka yang menjadi fokus pembahasan
dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana
pendapat mayoritas ulama dalam menafsirkan QS. al-Baqarah ayat 226-227 yang
berkaitan dengan pembahasan ilaa’ dalam hukum keluarga Islam ?
2.
Apa saja ayat
lainnya, maupun hadits yang membahas perihal ‘ilaa tersebut serta hubungan
ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelum dan/atau setelahnya?
3.
Bagaimana hukum
ilaa’ yang terkandung dalam ayat tersebut ?
B.
Tujuan
Berdasarkan
tujuan diatas, maka yang menjadi tujuan dalam pembahasan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Mengetahui
penafsiran dari QS. al-Baqarah ayat 226-227 yeng menjelaskan tentang ilaa’ dalam
hukum keluarga Islam
2.
Memahami konsep
ilaa’ berdasarkan pendapat-pendapat para ulama
3.
Memahami hukum ilaa’
dalam hukum keluarga Islam yang terkandung dalam ayat tersebut
BAB II
P E M B A H A S A N
A.
QS. al-Baqarah
: 226 – 227
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ
أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآؤُوا فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ وَإِنْ عَزَمُواْ الطَّلاَقَ
فَإِنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya
:
Kepada
orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk)
talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah : 226-227)
B.
Ayat atau
Hadits yang Berhubungan dengan Pembahasan Ila’
Ayat yang kemudian
mempunyai keterkaitan dengan pembahasan ila’, dalam hal ini yang
berkaitan yaitu mengenai esensi dari sumpah yang dilakukan, yakni terdapat dalam
surat al-Baqaarah 224-225 :
وَلاَ تَجْعَلُواْ اللّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّواْ
وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ لاَّ
يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا
كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya :
“Jangahlah
kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat
kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia . Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha MengetahuiAllah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 224-225)
Selain
itu terdapat pula dalam surat al-Maidah ayat 89 tentang kafarat atas sumpah
yang dilanggar tersebut :
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن
يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ
مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ
تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ
كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :
Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
(QS. al-Maidah : 89)
Sedangkan
hadits yang berkaitan masih keterkaitan terhadap sumpah itu sendiri secara
umum, yaitu :
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa
yang bersumpah, maka hendaklah dia bersumpah dengan (nama) Allah atau hendaklah
dia diam” (HR. Mutafaqqun ‘alaih)
أَلاَ إنَّ الله يَنْهَا كُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِاَبَائِكُمْ ,
فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أوْلِيَصْمُتْ
Artinya
:
“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah
dengan nama bapak-bapak kalian. Barangsiapa bersumpah, maka hendaklah ia
bersumpah dengan nama Allah atau hendaknya diam”
Disebutkan hadits shahih pula bahwa orang yang bersumpah dengan
selain Allah, berarti ia tidak bersumpah sesuai perintah Allah SWT, sehingga ia
tidak bisa disebut orang yang bersumpah, sesuai sabda Nabi SAW :
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya :
“Barangsiapa
mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dalam perkara (perintah) kami, maka ia
tertolak”[1]
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ , فَرَأَى غَيْرَها خَيْرًا مِنْهَا
فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا
Artinya :
“Barangsiapa yang bersumpah terhadap suatu hal, kemudian ia melihat
sesuatu yang lebih baik daripada sumpahnya, maka lakukan apa yang lebih baik
itu kemudian bayarlah kafarat sumpahnya” (HR.
Muslim, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)
C.
Analisis Lafadz
(الإِيْلاَء) berarti sumpah. Jika
seorang bersumpah tidak mencampuri istrinya dalam waktu tertentu, baik kurang
atau lebih dari empat bulan. Jika kurang dari empat bulan, maka ia harus
menunggu berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia boleh
mencampuri istrinya kembali, Bagi si isteri agar bersabar, dan tidak berhak
menuntut rujuk pada masa itu.
Tetapi jika lebih dari empat bulan, maka bagi sang isteri boleh
menuntut suaminya untuk mencampurinya setelah masa empat bulan atau
menceraikannya. Berdasarkan QS. al-Baqarah ayat 226-227 ini maka terdapat beberapa
kata kunci dalam menganalisis ayat-ayat tersebut, yaitu :
No.
|
Terjemahan
|
Kata
Kunci
|
1.
|
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya
|
لِّلَّذِينَ
يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ
|
2.
|
diberi tangguh empat bulan (lamanya)
|
تَرَبُّصُ
أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ
|
3.
|
Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya)
|
فَإِنْ
فَآؤُوا
|
4.
|
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
|
فَإِنَّ
اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
|
5.
|
Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak
|
وَإِنْ
عَزَمُواْ الطَّلاَقَ
|
6.
|
maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
|
فَإِنَّ
اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
|
-
Kata kunci
pertama, لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ : “ Kepada
orang-orang yang-ilaa’ isteri-isterinya”.
يُؤْلُونَ (meng-ilaa’)
yakni besumpah. Bentuk mashdar-nya adalah iilaa’, aliyyah
dan uluwah[2].
Hal ini juga dijelaskan oleh Imam al-Qurthubi bahwa makna lafadznya adalah yuflihunnaa
(bersumpah)[3].
Artinya, bahwa bersumpah disini adalah bersumpah untuk tidak mencampuri
isterinya (jima’). Dalam hal ini, jumhur ulama berbeda pendapat tentang
sumpah yang dapat menjatuhkan ilaa’. Sekelompok ulama berpendapat bahwa sumpah
ilaa’ tidak dapat jatuh kecuali dengan sumpah atas nama Allah. Hal ini
didasarkan kepada Sabda Rasulullah SAW,
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang bersumpah, maka hendaklah dia bersumpah dengan
(nama) Allah atau hendaklah dia diam”[4]
Pendapat inilah yang dikemukakan oleh asy-Syafi’i dalam Qaul Jadid.
Sedangkan Ibnu Abbas berkata, “Setiap sumpaf yang dapat menghalangi hubungan
badan adalah ilaa’.” Pendapat inilah yang juga dikemukakan oleh asy-Syafi’i,
an-Nakha’i, Malik,
Para ulama Hijaz, Sufyan ats-Tsauri dan para ulama Irak. Pendapat
ini pula dikemukakan oleh asy-Syafi’i dalam qaul yang lain, Abu Tsaur, Abu
Ubaid, Ibnu al-Mundzir dan Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi. Ibnu Abdil Barr
berkata, “Setiap orang yang bersumpah hingga mengakibatkan tidak dapat
menggauli isterinya kecuali dengan melanggar sumpah tersebut, berarti melakukan
ilaa’, jika sumpahnya lebih dari empat bulan”.
Dengan demikian, setiap orang yang bersumpah dengan (nama) Allah
atau salah satu sifatnya, atau dia mengatakan, “Aku bersumpah demi Allah,” atau
“Aku mempersaksikan kepada Allah,” atau “Wajib untukku janji dan pertanggungan
Allah,” maka hal ini dapat menjatuhkan ilaa’.[5]
Sebagaimana pendapat Ibnu Abdil Barr diatas, pendapat ini yang
menjadi disepakati oleh mayoritas para ulama yang berkata, “Ilaa’ adalah
seorang bersumpah untuk tidak melakukan hubungan badan (dengan isterinya) lebih
dari empat bulan. Jika seorang bersumpah untuk tidak melakukan hubungan badan
selama empat bulan atau kurang, maka tidak dianggap melakukan ilaa’.”
Menurut mayoritas ulama ini, sumpah yang diucapkan hanyalah sumpah
semata. Jika dia melakukan hubungan badan dalam tenggang waktu empat bulan itu,
maka tidak ada sesuatu pun yang diwajibkan atas dirinnya, seperti sumpah
(lainnya). Ini adalah yang menjadi pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan
Abu Tsaur.[6]
Sumpah untuk meng-ilaa’ isteri in mencakup pula hamba sahaya
bila ia bersumpah untuk tidak menggauli isterinya. Demikian pendapat
asy-Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur. Mereka berkata, “Illa’-nya hamba
sahaya sama dengan orang merdeka.” Sementara Malik, az-Zuhri, Atha’, Abu
Hanifah dan Ishaq mengatakan bahwa masanya (yakni masa penangguhan bagi hamba
sahaya yang meng-ilaa’ isterinya) adalah dua bulan.[7]
Selain itu, kata ( مِن نِّسَآئِهِمْ ) menurut Ibnu Katsir ayat ini juga menunjukkan ilaa’ itu
hanya dikhususkan terhadap isteri, bukan hamba sahaya. Sebagaimana yang menjadi
pendapat Jumhur Ulama.[8]
Dengan demikian, wanita yang kedalam firman Allah ini adalah wanita yang
merdeka, wanita dzimmi dan budak perempuan jika dinikahi.[9]
-
Kata kunci
kedua, تَرَبُّصُ
أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ : “diberi tangguh empat
bulan”
( تَرَبُّصُ ) at-Tarabush adalah
an-Ta’anni (penangguhan) dan at-Ta’akhir (pengakhiran), bentuk
acak dari kata at-Tashabur. yang berarti si suami harus menunggu selama
empat bulan dari sejak sumpah itu diucapkan. Allah SWT menetapkan masa selama 4
bulan tersebut untuk mencegah madharat yang bisa menimpa isteri, karena pada
masa jahiliyah suami biasa meng-ilaa’ hingga setahun dan dua tahun dan
mereka maksudkan itu untuk menimbulkan madharat terhadap isterinya. Allah
kemudian melarang hal itu dan menetapkan masa tersebut bagi suami dalam
mendidik isterinya dengan mengacuhkannya.
Menurut
pendapat mayoritas ulama sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masa
penagguhan/pengakhiran setelah empat bulan ini apabila suami bersumpah tidak
melakukan hubungan badan lebih dari empat bulan, bahkan menurut Ibnu Abbas
bahwa “seorang tidak dinilai ilaa’ hingga dia bersumpah untuk tidak menggauli
isterinya selamanya”[10].
Yang berarti masa pengakhiran untuk tidak bersetubuh tersebut hanya boleh
dituntut oleh isteri setelah lebih dari empat bulan.
Namun
hal ini berbeda dengan pendapat ats-Tsauri dan para ulama Kufah yang berkata, “Ilaa’
adalah seseorang yang bersumpah (untuk tidak melakukan hubungan badan dengan
isterinya) dalam waktu empat bulam atau lebih.” Pendapat ini adalah pendapat
Atha’. Para ulama Kufah berkata, “Allah menetapkan masa penantian dalam ilaa’
selama empat bulan sebagaimana Allah SWT menetapkan iddah wanita yang
ditinggal mati suami selama empat bulan sepuluh hari dan menetapkan tiga quru’
(haid/suci) sebagai masa iddah.”
Dengan
demikian, tidak ada masa penantian setelah itu. “Dengan demikian, stelah masa
tersebut ilaa’ harus gugur dan tidak guggur kecuali dengan melakukan
hubungan badan dalam masa itu dan talak setelah habis masa empat bulan”[11].
Adanya perbedaan pendapat ini, penulis lebih sepakat dengan pendapat mayoritas
ulama yang diartikan sebagai masa pengakhiran bukan masa penantian sebagaimana
pendapat ats-Tsauri.
-
Kata kunci yang
ketiga, فَإِنْ فَآؤُوا : “kemudian
jika mereka kembali”
الفئ adalah kembali dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Maksud
Allah dalam ayat ini oleh Abu Ja’far yaitu jika mereka kembali dengan
meninggalkan yang mereka sumpahkan untuk tidak menggauli isteri mereka,
kemudian mereka menggaulinya dan mereka melanggar sumpah mereka.[12]
Kembali
disini merupakan kiasan dari jima’, demikian dikatakan Ibnu ‘Abbas, Masruq, asy-Sya’abi, Sa’id bin Jubair dan
ulama lainnya, diantaranya adalah Ibnu Jarir.[13]
Dalam Tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa Ibnu al-Mundzir berkata, “Ahlul Ilmi
sepakat bahwa الفئ adalah berhubungan badan
bagi orang yang tidak mempunyai hambatan. Adapun orang yang mempunyai hambatan
dalam melakukan hubungan badan, baik karena penyakit, dipenjara atau yang
lainnya, maka sesungguhnya kembali/rujuknya dianggap sah (meskipun tidak
melakukan hubungan badan), dan perempuan yang di-ila’ itupun tetap
menjadi isterinya” atau menurut Abu Hanifah yang berkata “Jika tidak mapu untuk
melakukan hubungan badan, maka dia harus mengatakan : ‘Aku telah kembali
kepadanya’.” Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal harus disertakan dengan berniat
untuk kembali dalam hatinya.[14]
Selain
itu menurut mayoritas ulama bagi si suami yang meng-ilaa’ diwajibkan
membayar kaffarat, karena yang dimaksud firman Allah فَإِنْ فَآؤُوا adalah sumpah yang mereka langgar.
-
Kata Kunci
ke-empat فَإِنَّ اللّهَ
غَفُورٌ رَّحِيم : “maka sesungguhnya
Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang”
Firman
Allah ini mengisyaratkan bagi mereka (suami) setelah berlalu masa empat bulan,
mereka kembali untuk memperlakukan isterinya dengan baik dan menggaulinya, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang atas sumpah yang telah mereka
ucapkan yang membuat isteri-isteri mereka menderita[15]. Menurut
salah satu dari beberapa pendapat ulama, diantaranya pendapat lama dari
asy-Syafi’i, ayat ini mengandung dalil bahwa jika seseorang meng-ilaa’ isterinya
kembali setelah empat bulan, maka tidak ada kafarat (denda baginya), yang
menunjukkan pada ke-Mahapengampunan dan ke-Mahapenyayangan-nya Allah SWT. Dan
hal itu diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari
kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ , فَرَأَى غَيْرَها خَيْرًا مِنْهَا
فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا
“Barangsiapa
bersumpah atas suatu hal, lalu melihat hal lainnya lebih baik daripada
sumpahnya tersebut, maka meninggalkan sumpahnya itu adalah kafaratnya”[16]
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud at-Tirmidzi.
Sedangkan pendapat baru dari madzhab asy-Syafi’i, bahwa ia harus membayar kafarat
berdasarkan pada universalitas kewajiban kafarat bagi setiap orang yang
bersumpah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits shahih.
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرً مِنْهَا
فَلْيَأْتِ الَّذِيْ هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ يَمِيْنِهِ
“Barangsiapa
yang bersumpah terhadap suatu hal, kemudian ia melihat sesuatu yang lebih baik
daripada sumpahnya, maka lakukan apa yang lebih baik itu kemudian bayarlah
kafarat sumpahnya”[17]
Berdasarkan hadits inilah yang kemudian oleh Imam Malik,
asy-Syafi’i, Abu Hanifah, berikut sahabat-sahabat mereka, serta mayoritas ulama
mewajibkan membayar kaffarat mewajibkan membayar bagi orang yang melakukan ilaa’,
kemudian dia kembali kepada isterinya dengan melakukan hubungan badan tersebut.
-
Kata kunci
ke-lima وَإِنْ
عَزَمُواْ الطَّلاَقَ : “dan jika mereka berketetapan hati untuk
talak”
al-Aziimah adalah
menyempurnakan akad terhadap sesuatu. Syamir berkata, “(makna) aziimah dan azam
adalah sesuatu yang engkau mantapkan dalam dirimu bahwa engkau akan
melakukannya” artinya mereka tidak mau kembali dalam melakukan jima’ yang
merupakan tanda kebencian merkea terhadap isteri merek dan ketidaksukaan
terhadap mereka.
Adapun kata ath-thalaaq diambil dari ungkapan : thalaqtu al
mar’ata (aku menceraikan isteri) tathluqu – sesuai dengan wazan nashara
yanshuru – thalaaqan fahiya thaaliqun wa thaaliqatun. Makna thalaq adalah
putusnya pernikahan. Kata asalnya adalah al-inthilaaq. Makna al-muthalaqaat
adalah wanita-wanita yang diceraikan. Sedangkan makna thalaq adalah
cerai.
Firman ini juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa talak itu
tidak jatuh hanya sekedar karena berlalunya waktu empat bulan, inilah yang
menjadi pendapat jumhur ulama muta’akhirin, yaitu si suami harus menentukan,
yakni ia dituntut untuk mencampurinya kembali atau menceraikannya. Jadi, talak
itu tidak terjadi hanya karena berlalunya waktu empat bulan. Hal ini dikuatkan
dengan hadits yang ditakhrij oleh Imam Malik dari Nafi’, dari Abdullah
bin ‘Umar, ia pernah mengatakan : “Jika seorang laki-laki maeng-ilaa’
isterinya, maka hal itu tidak menyebabkan jatuhnya talak meskipun telah berlalu
empat bulan, hingga ia mempertimbangkan untuk menceraikan atau mencampurinya
kembali” Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari[18].
Selain itu firman ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa budak
perempuan yang dimiliki karena ikatan perbudakan (bukan dengan perkawinan)
tidak dapat di-ilaa’, sebab dia tidak dapat dithalaq.[19]
-
Kata kunci
ke-enam فَإِنَّ اللّهَ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ : “maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Abu Hanifah berkata, “Firman Allah سَمِيعٌ ‘Maha Mendengar’
maksudnya mendengar ilaa’-nya, dan عَلِيمٌ ‘Maha Mengetahui’
maksudnya maha mengetahui atas ketetapan hatinya yang ditunjukkan oleh
berlalunya waktu empat bulan tersebut. Selain itu, dalam Tafsir al-Qurthubi
dijelaskan bahwa firman Allah سَمِيعٌ menghendaki adanya sesuatu yang didengar
setelah habisnya waktu empat bulan tersebut dari suami, apakah memilih untuk
menggauli kembali isterinya tersebut atau menetapkan untuk men-thalaq isterinya
tersebut.
D.
Munasabah Ayat
Ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 226-227 yang sebagai dasar
dari perkara ila’ bermunasabah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat
225
لاَّ
يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا
كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya :
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)
yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 225)
Yang mana hadits sebelumnya ini, masih membahas mengenai sumpah
yang hanya dilakukan dalam hati. Dan hal ini masih merupakan kelanjutan dari
ayat sebelumnya mengenai penggunaan nama Allah dalam sumpah.
Sedangkan mengenai ayat setelahnya, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat
228 pun masih memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, ayat 227 yang
merupakan penyelesaian perkara ila’ setelah empat bulan dengan memilih
jalan talaq, sehingga kemudian dilanjutkan dengan pembahasan perihal talaq,
mulai dari ayat 228 sampai ayat 232.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ
يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ
يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ
فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ
Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru’ . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah : 228)
الطَّلاَقُ
مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ
لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا
أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ
تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya . Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS.
al-Baqarah : 229)
E.
Hukum yang
Terkandung
Firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 226-227
ini bermaksud untuk menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang –
orang jahiliyah, dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri
isterinya selama satu atau dua tahun, bahkan lebih. Kemudian Allah Swt
menjadikan empat bulan saja untuk waktu maksimalnya, dalam waktu tersebut adalah
waktu dijadikanya sebagai masa penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri
dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya dan kembali kepada
istrinya atau mentalaknya[20].
Adanya ila’ sesungguhnya mempersulit seorang
wanita, dengan membiarkan ia terkatung katung dalam kehidupan rumah tangganya
yang posisinya adalah menjadi istri atau sebagai ibu rumah tangga, dalam
kondisi ila’ akan mencekam pula kedudukan istri tersebut dimana wanita tersebut
adalah sebagai istri namun juga tidak seperti wanita yang diceraikan dan bebas
untuk menikah kembali dengan orang lain[21].
Dari penjelasan diatas kiranya dapat diambil
sebuah kesimpulan mendasar, bahwa hukum asal ila’ itu dilarang atau haram dalam
kategori pada masa jahiliyah dulu, karena ila’nya adalah sampai bertahun –
tahun yang hal tersebut adalah membuat diri seorang isteri tersiksa dan
terkatung nasibnya.
Kemudian setelah adanya islam datang, hal ini
diperbolehkan asal sebelum empat bulan berlalu, sang suami berhak mersetubuh
kembali atau istilah mengatakan adalah rujuk kepada sang istri, dan ketika
suami bersih keras untuk meneruskan ila’nya, maka sang istripun juga harus
bersabar demi kemaslakhatan bersama. Namun jika empat bulan telah berlalu, maka
hendaknya sang suami membuat keputusan yaitu tetap atau kembali ruju’ pada sang
istri atau menceraikanya[22].
BAB III
P E N U T U P
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penjelasan diatas, adalah sebagai berikut :
1.
Ila’ adalah sumpah yang dialakukan seorang suami untuk tidak mencampuri istrinya,
yang oleh pendapat jumhur ulama, sumpah itu adalah sumpah untuk tidak
menyetubuhinya selama-lamanya, sehingga berdasarkan ayat ini maka seorang
isteri berhak menyanyakan keputusan suaminya setelah menunggu selama empat
bulan untuk merujuknya kembali atau memilih untuk men-talaq isterinya
tersebut.
2.
Masa selama 4
bulan ini disebut dengan masa menunggunya seorang isteri terhadap suaminya.
3.
Keputusan
seorang suami untuk kembali kepada isterinya oleh pendapat jumhur dilakukan
dengan cara menyetubuhi kembali isterinya.
4.
Seorang suami
oleh pendapat jumhur juga, apabila memutuskan untuk untuk kembali kepada
isterinya, dan membatalkan sumpah yang telah diucapkannya maka wajib membayar
denda kafarat atas sumpah yang diucapkannya.
5.
Ayat yang
berkaitan dengan ini yaitu surat al-Maidah ayat 89 tentang kafarat sumpah, dan
hadits yang membahas mengenai batasan-batasan dalam bersumpah
6.
Surat
al-Baqarah ayat 226-227 ini bermunasabah dengan ayat 225, yang membahas
mengenai sumpah, maupun ayat setelahnya, ayat 228-232, yang berkaitan dengan
pembahasan talaq
7.
Hukum yang
terkandung yaitu wajib hukumnya seorang suami
yang bersumaph untuk tidak lagu menyetubuhi isterinya untuk menentukan
pilihannya untuk meneruskan perkawinan mereka dengan jalan kembali kepada
isterinya kembali atau menceraikannya
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman. Perkawinan Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
al-Qurthubi,
Imam. Tafsir al-Qurthubi. Terj. Fathurrahman. Jakarta : Pustaka Azzam.
2007.
ath-Thabari,
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir ath-Thabari. Terj. Ahsan Aksan.
Jakarta : Pustaka Azzam. 2008.
asy-Syaukani,
Muhammad. Tafsir Fathul Qadir.
Terj. Amir Hamzah Fachruddin. Jakarta : Pustaka Azzam. 2008.
as-Shuyuthi
, Imam Jalaluddin., al-Mahalli, Imam Jalaluddin. Tafsir Jalalain jilid I.
Bandung : Sinar Baru Algesindo. 2008.
Kamal
, Abu Malik. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta : Pustaka Azam. 2007.
Katsir,
Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Abdul Ghoffar. Jakarta : Pustaka Imam
asy-Syafi’i. 2001.
[1] Abu Malik Kamal bin as-Sayid
Salim, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta : Pustaka Azam, 2007), hal. 578
[2] Muhammad asy-Syaukani, Tafsir
Fathul Qadir, terjemahan Amir Hamzah
Fachruddin, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hal. 212
[3] Imam al-Qurthubi, Tafsir
al-Qurthubi, terjemahan Fathurrahman, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), hal.
225
[4] Imam al-Qurthubi, Ibid,
hal. 226 yang diambil dari HR. al-Bukhari pada pembahasan Kesaksia, bab :
Bagaimana Seorang Bersumpah 2/109 dan Muslim dalam pembahasan Sumpah, bab :
Larangan Bersumpah dengan Selain Nama Allah 3/167, Malik dan pembahasan Nadzar
2/480, ad-Darimi pada pembahasan Nadzar, an Ahmad dalam al-Musnad 2/7 dan 11
[5] Imam al-Qurthubi, Op.cit,
hal 226-227
[6] Imam al-Qurthubi, Loc.cit,
hal. 229
[7] Muhammad asy-Syaukani, Ibid, hal.
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsir, terjemahan Abdul Ghoffar, (Jakarta : Pustaka Imam asy-Syafi’I,
2001), hal. 443
[9] Imam al-Qurthubi, Ibid,
hal. 233-234
[10]Imam al-Qurthubi, Op.cit,
hal. 229
[11] Imam al-Qurthubi, Loc.cit,hal.
229
[12] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, terjemahan Ahsan Aksan, (Jakarta :
Pustaka Azzam, 2008), hal. 739
[13] Ibnu Katsir, Ibid, hal. 443
[14] Imam al-Qurthubi, Ibid, hal. 236-237
[15] Imam Jalaluddin as-Shuyuthi,
Imam Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain jilid I, (Bandung : Sinae
Baru Algesindo, 2008), hal. 121
[16] Hadits ini didha’ifkan oleh
Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iiful Jaami’
[17] Shahih : { Shahiih
al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6208)}, {Shahiih Muslim (III/1271,
no.1650)}, {Sunan an-Nasa’I (VII/11)}, {Sunan Ibni Majah (I/681,
no.2108)}
[18] Ibnu Katsir, Ibid, hal.
444
[19] Imam al-Qurthubi, Op.cit,
hal. 242
[20]Abdul
Ghoffar, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007). Hal: 459
[21]Abdurrahman,
Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1996). Hal:
106-107
[22]Abu
Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007).
Hal: 260-270
Sands Casino and Resort | Gaming and Entertainment
BalasHapusWe provide a fun gaming experience for you all at Sands Casino and Resort in Las Vegas. From Table Games to Table 제왕카지노 Games, our 샌즈카지노 Casino Rewards program 1xbet lets you keep what you win