Selasa, 26 Juni 2012

ila'


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Nikah merupakan sunnah Rosul Muhammad Saw, karenanya rosulullah menganjurkan kepada umatnya untuk melakukan pernikahan untuk melanggengkan keturunan atau memperbaiki keturunan, mencegah dari perzianahan dan demi melaksakan sunnah rosul tadi yaitu nikah serta untuk berjihad dalam islam.
Namun dalam terjadinya suatau akad pernikahan dan adanya saksi serta mahar sekaligus wali pada masing – masing pihak atau yang disebut dengan pernikahan, tidak selamanya akan berjalan baik, lurus dan selalu dalam keadaan baik – baik saja dalam suatu rumah tangga.
Tentunya pertikaian, pertentangan atau timbulnya permasalahan – permasalahan dalam rumah tangga tidak lepas dari adanya perbedaan pendapat atau faham, Sebagai salah satu contoh adalah ila’.
Adapun ila’ disini merupakan produk – produk hasil dari adanya masalah – masalah yang terjadi dalam rumah tangga, sehingga dalam perjalanan pernikahan dalam semua orang didunia ini tentunya tidak bisa lepas dari timbulnya maslah dalam keluarga.
Selain itu dalam pembuatan makalah ini juga untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah yaitu Tafsir Ahkam I. Dari makalah ini juga bertujuan sebagai bahan bacaan dan pengayaan dari kajian – kajian dari bahasan mengenai ila’.
A.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang yang telah dideskripsikan, maka yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana pendapat mayoritas ulama dalam menafsirkan QS. al-Baqarah ayat 226-227 yang berkaitan dengan pembahasan ilaa’ dalam hukum keluarga Islam ?
2.      Apa saja ayat lainnya, maupun hadits yang membahas perihal ‘ilaa tersebut serta hubungan ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelum dan/atau setelahnya?
3.      Bagaimana hukum ilaa’ yang terkandung dalam ayat tersebut ?

B.     Tujuan
Berdasarkan tujuan diatas, maka yang menjadi tujuan dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui penafsiran dari QS. al-Baqarah ayat 226-227 yeng menjelaskan tentang ilaa’ dalam hukum keluarga Islam
2.      Memahami konsep ilaa’ berdasarkan pendapat-pendapat para ulama
3.      Memahami hukum ilaa’ dalam hukum keluarga Islam yang terkandung dalam ayat tersebut

BAB II
P E M B A H A S A N

A.    QS. al-Baqarah : 226 – 227

لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآؤُوا فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ وَإِنْ عَزَمُواْ الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya :
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah : 226-227)

B.     Ayat atau Hadits yang Berhubungan dengan Pembahasan Ila’
Ayat yang kemudian mempunyai keterkaitan dengan pembahasan ila’, dalam hal ini yang berkaitan yaitu mengenai esensi dari sumpah yang dilakukan, yakni terdapat dalam surat al-Baqaarah 224-225 :
وَلاَ تَجْعَلُواْ اللّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّواْ وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ  
Artinya :
“Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia . Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha MengetahuiAllah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 224-225)
Selain itu terdapat pula dalam surat al-Maidah ayat 89 tentang kafarat atas sumpah yang dilanggar tersebut :
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. al-Maidah : 89)
Sedangkan hadits yang berkaitan masih keterkaitan terhadap sumpah itu sendiri secara umum, yaitu :
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang bersumpah, maka hendaklah dia bersumpah dengan (nama) Allah atau hendaklah dia diam” (HR. Mutafaqqun ‘alaih)
أَلاَ إنَّ الله يَنْهَا كُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِاَبَائِكُمْ , فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أوْلِيَصْمُتْ
Artinya :
“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian. Barangsiapa bersumpah, maka hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau hendaknya diam”
Disebutkan hadits shahih pula bahwa orang yang bersumpah dengan selain Allah, berarti ia tidak bersumpah sesuai perintah Allah SWT, sehingga ia tidak bisa disebut orang yang bersumpah, sesuai sabda Nabi SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya :
“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dalam perkara (perintah) kami, maka ia tertolak”[1]
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ , فَرَأَى غَيْرَها خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا
Artinya :
“Barangsiapa yang bersumpah terhadap suatu hal, kemudian ia melihat sesuatu yang lebih baik daripada sumpahnya, maka lakukan apa yang lebih baik itu kemudian bayarlah kafarat sumpahnya” (HR. Muslim, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

C.    Analisis Lafadz
(الإِيْلاَء) berarti sumpah. Jika seorang bersumpah tidak mencampuri istrinya dalam waktu tertentu, baik kurang atau lebih dari empat bulan. Jika kurang dari empat bulan, maka ia harus menunggu berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia boleh mencampuri istrinya kembali, Bagi si isteri agar bersabar, dan tidak berhak menuntut rujuk pada masa itu.
Tetapi jika lebih dari empat bulan, maka bagi sang isteri boleh menuntut suaminya untuk mencampurinya setelah masa empat bulan atau menceraikannya. Berdasarkan QS. al-Baqarah ayat 226-227 ini maka terdapat beberapa kata kunci dalam menganalisis ayat-ayat tersebut, yaitu :
No.
Terjemahan
Kata Kunci
1.
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ
2.
diberi tangguh empat bulan (lamanya)
تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ
3.
Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya)
فَإِنْ فَآؤُوا
4.
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
5.
Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak
وَإِنْ عَزَمُواْ الطَّلاَقَ
6.
maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
فَإِنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

-          Kata kunci pertama, لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ  : “ Kepada orang-orang yang-ilaa’ isteri-isterinya”. 
يُؤْلُونَ (meng-ilaa’) yakni besumpah. Bentuk mashdar-nya adalah iilaa’, aliyyah dan uluwah[2]. Hal ini juga dijelaskan oleh Imam al-Qurthubi bahwa makna lafadznya adalah yuflihunnaa (bersumpah)[3]. Artinya, bahwa bersumpah disini adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya (jima’). Dalam hal ini, jumhur ulama berbeda pendapat tentang sumpah yang dapat menjatuhkan ilaa’. Sekelompok ulama berpendapat bahwa sumpah ilaa’ tidak dapat jatuh kecuali dengan sumpah atas nama Allah. Hal ini didasarkan kepada Sabda Rasulullah SAW,
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang bersumpah, maka hendaklah dia bersumpah dengan (nama) Allah atau hendaklah dia diam”[4]
Pendapat inilah yang dikemukakan oleh asy-Syafi’i dalam Qaul Jadid. Sedangkan Ibnu Abbas berkata, “Setiap sumpaf yang dapat menghalangi hubungan badan adalah ilaa’.” Pendapat inilah yang juga dikemukakan oleh asy-Syafi’i, an-Nakha’i, Malik,
Para ulama Hijaz, Sufyan ats-Tsauri dan para ulama Irak. Pendapat ini pula dikemukakan oleh asy-Syafi’i dalam qaul yang lain, Abu Tsaur, Abu Ubaid, Ibnu al-Mundzir dan Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Setiap orang yang bersumpah hingga mengakibatkan tidak dapat menggauli isterinya kecuali dengan melanggar sumpah tersebut, berarti melakukan ilaa’, jika sumpahnya lebih dari empat bulan”.
Dengan demikian, setiap orang yang bersumpah dengan (nama) Allah atau salah satu sifatnya, atau dia mengatakan, “Aku bersumpah demi Allah,” atau “Aku mempersaksikan kepada Allah,” atau “Wajib untukku janji dan pertanggungan Allah,” maka hal ini dapat menjatuhkan ilaa’.[5]
Sebagaimana pendapat Ibnu Abdil Barr diatas, pendapat ini yang menjadi disepakati oleh mayoritas para ulama yang berkata, “Ilaa’ adalah seorang bersumpah untuk tidak melakukan hubungan badan (dengan isterinya) lebih dari empat bulan. Jika seorang bersumpah untuk tidak melakukan hubungan badan selama empat bulan atau kurang, maka tidak dianggap melakukan ilaa’.”
Menurut mayoritas ulama ini, sumpah yang diucapkan hanyalah sumpah semata. Jika dia melakukan hubungan badan dalam tenggang waktu empat bulan itu, maka tidak ada sesuatu pun yang diwajibkan atas dirinnya, seperti sumpah (lainnya). Ini adalah yang menjadi pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Abu Tsaur.[6]
Sumpah untuk meng-ilaa’ isteri in mencakup pula hamba sahaya bila ia bersumpah untuk tidak menggauli isterinya. Demikian pendapat asy-Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur. Mereka berkata, “Illa’-nya hamba sahaya sama dengan orang merdeka.” Sementara Malik, az-Zuhri, Atha’, Abu Hanifah dan Ishaq mengatakan bahwa masanya (yakni masa penangguhan bagi hamba sahaya yang meng-ilaa’ isterinya) adalah dua bulan.[7]
Selain itu, kata ( مِن نِّسَآئِهِمْ ) menurut Ibnu Katsir ayat ini juga menunjukkan ilaa’ itu hanya dikhususkan terhadap isteri, bukan hamba sahaya. Sebagaimana yang menjadi pendapat Jumhur Ulama.[8] Dengan demikian, wanita yang kedalam firman Allah ini adalah wanita yang merdeka, wanita dzimmi dan budak perempuan jika dinikahi.[9]
-          Kata kunci kedua, تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ  : “diberi tangguh empat bulan”
( تَرَبُّصُ ) at-Tarabush adalah an-Ta’anni (penangguhan) dan at-Ta’akhir (pengakhiran), bentuk acak dari kata at-Tashabur. yang berarti si suami harus menunggu selama empat bulan dari sejak sumpah itu diucapkan. Allah SWT menetapkan masa selama 4 bulan tersebut untuk mencegah madharat yang bisa menimpa isteri, karena pada masa jahiliyah suami biasa meng-ilaa’ hingga setahun dan dua tahun dan mereka maksudkan itu untuk menimbulkan madharat terhadap isterinya. Allah kemudian melarang hal itu dan menetapkan masa tersebut bagi suami dalam mendidik isterinya dengan mengacuhkannya.
Menurut pendapat mayoritas ulama sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masa penagguhan/pengakhiran setelah empat bulan ini apabila suami bersumpah tidak melakukan hubungan badan lebih dari empat bulan, bahkan menurut Ibnu Abbas bahwa “seorang tidak dinilai ilaa’ hingga dia bersumpah untuk tidak menggauli isterinya selamanya”[10]. Yang berarti masa pengakhiran untuk tidak bersetubuh tersebut hanya boleh dituntut oleh isteri setelah lebih dari empat bulan.
Namun hal ini berbeda dengan pendapat ats-Tsauri dan para ulama Kufah yang berkata, “Ilaa’ adalah seseorang yang bersumpah (untuk tidak melakukan hubungan badan dengan isterinya) dalam waktu empat bulam atau lebih.” Pendapat ini adalah pendapat Atha’. Para ulama Kufah berkata, “Allah menetapkan masa penantian dalam ilaa’ selama empat bulan sebagaimana Allah SWT menetapkan iddah wanita yang ditinggal mati suami selama empat bulan sepuluh hari dan menetapkan tiga quru’ (haid/suci) sebagai masa iddah.”
Dengan demikian, tidak ada masa penantian setelah itu. “Dengan demikian, stelah masa tersebut ilaa’ harus gugur dan tidak guggur kecuali dengan melakukan hubungan badan dalam masa itu dan talak setelah habis masa empat bulan”[11]. Adanya perbedaan pendapat ini, penulis lebih sepakat dengan pendapat mayoritas ulama yang diartikan sebagai masa pengakhiran bukan masa penantian sebagaimana pendapat ats-Tsauri.
-          Kata kunci yang ketiga, فَإِنْ فَآؤُوا : “kemudian jika mereka kembali”
الفئ adalah kembali dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Maksud Allah dalam ayat ini oleh Abu Ja’far yaitu jika mereka kembali dengan meninggalkan yang mereka sumpahkan untuk tidak menggauli isteri mereka, kemudian mereka menggaulinya dan mereka melanggar sumpah mereka.[12]
Kembali disini merupakan kiasan dari jima’, demikian dikatakan Ibnu ‘Abbas,  Masruq, asy-Sya’abi, Sa’id bin Jubair dan ulama lainnya, diantaranya adalah Ibnu Jarir.[13] Dalam Tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa Ibnu al-Mundzir berkata, “Ahlul Ilmi sepakat bahwa  الفئ adalah berhubungan badan bagi orang yang tidak mempunyai hambatan. Adapun orang yang mempunyai hambatan dalam melakukan hubungan badan, baik karena penyakit, dipenjara atau yang lainnya, maka sesungguhnya kembali/rujuknya dianggap sah (meskipun tidak melakukan hubungan badan), dan perempuan yang di-ila’ itupun tetap menjadi isterinya” atau menurut Abu Hanifah yang berkata “Jika tidak mapu untuk melakukan hubungan badan, maka dia harus mengatakan : ‘Aku telah kembali kepadanya’.” Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal harus disertakan dengan berniat untuk kembali dalam hatinya.[14]
Selain itu menurut mayoritas ulama bagi si suami yang meng-ilaa’ diwajibkan membayar kaffarat, karena yang dimaksud firman Allah فَإِنْ فَآؤُوا adalah sumpah yang mereka langgar.

-          Kata Kunci ke-empat فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيم : “maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang”
Firman Allah ini mengisyaratkan bagi mereka (suami) setelah berlalu masa empat bulan, mereka kembali untuk memperlakukan isterinya dengan baik dan menggaulinya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang atas sumpah yang telah mereka ucapkan yang membuat isteri-isteri mereka menderita[15]. Menurut salah satu dari beberapa pendapat ulama, diantaranya pendapat lama dari asy-Syafi’i, ayat ini mengandung dalil bahwa jika seseorang meng-ilaa’ isterinya kembali setelah empat bulan, maka tidak ada kafarat (denda baginya), yang menunjukkan pada ke-Mahapengampunan dan ke-Mahapenyayangan-nya Allah SWT. Dan hal itu diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ , فَرَأَى غَيْرَها خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا
“Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu melihat hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya tersebut, maka meninggalkan sumpahnya itu adalah kafaratnya”[16]
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud at-Tirmidzi. Sedangkan pendapat baru dari madzhab asy-Syafi’i, bahwa ia harus membayar kafarat berdasarkan pada universalitas kewajiban kafarat bagi setiap orang yang bersumpah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits shahih.
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرً مِنْهَا فَلْيَأْتِ الَّذِيْ هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ يَمِيْنِهِ
“Barangsiapa yang bersumpah terhadap suatu hal, kemudian ia melihat sesuatu yang lebih baik daripada sumpahnya, maka lakukan apa yang lebih baik itu kemudian bayarlah kafarat sumpahnya”[17]
Berdasarkan hadits inilah yang kemudian oleh Imam Malik, asy-Syafi’i, Abu Hanifah, berikut sahabat-sahabat mereka, serta mayoritas ulama mewajibkan membayar kaffarat mewajibkan membayar bagi orang yang melakukan ilaa’, kemudian dia kembali kepada isterinya dengan melakukan hubungan badan tersebut.
-          Kata kunci ke-lima وَإِنْ عَزَمُواْ الطَّلاَقَ   : “dan jika mereka berketetapan hati untuk talak”
al-Aziimah adalah menyempurnakan akad terhadap sesuatu. Syamir berkata, “(makna) aziimah dan azam adalah sesuatu yang engkau mantapkan dalam dirimu bahwa engkau akan melakukannya” artinya mereka tidak mau kembali dalam melakukan jima’ yang merupakan tanda kebencian merkea terhadap isteri merek dan ketidaksukaan terhadap mereka.
Adapun kata ath-thalaaq diambil dari ungkapan : thalaqtu al mar’ata (aku menceraikan isteri) tathluqu – sesuai dengan wazan nashara yanshuru – thalaaqan fahiya thaaliqun wa thaaliqatun. Makna thalaq adalah putusnya pernikahan. Kata asalnya adalah al-inthilaaq. Makna al-muthalaqaat adalah wanita-wanita yang diceraikan. Sedangkan makna thalaq adalah cerai.
Firman ini juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa talak itu tidak jatuh hanya sekedar karena berlalunya waktu empat bulan, inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama muta’akhirin, yaitu si suami harus menentukan, yakni ia dituntut untuk mencampurinya kembali atau menceraikannya. Jadi, talak itu tidak terjadi hanya karena berlalunya waktu empat bulan. Hal ini dikuatkan dengan hadits yang ditakhrij oleh Imam Malik dari Nafi’, dari Abdullah bin ‘Umar, ia pernah mengatakan : “Jika seorang laki-laki maeng-ilaa’ isterinya, maka hal itu tidak menyebabkan jatuhnya talak meskipun telah berlalu empat bulan, hingga ia mempertimbangkan untuk menceraikan atau mencampurinya kembali” Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari[18].
Selain itu firman ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa budak perempuan yang dimiliki karena ikatan perbudakan (bukan dengan perkawinan) tidak dapat di-ilaa’, sebab dia tidak dapat dithalaq.[19]
-          Kata kunci ke-enam فَإِنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ : “maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Abu Hanifah berkata, “Firman Allah سَمِيعٌ ‘Maha Mendengar’ maksudnya mendengar ilaa’-nya, dan عَلِيمٌ ‘Maha Mengetahui’ maksudnya maha mengetahui atas ketetapan hatinya yang ditunjukkan oleh berlalunya waktu empat bulan tersebut. Selain itu, dalam Tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa firman Allah سَمِيعٌ  menghendaki adanya sesuatu yang didengar setelah habisnya waktu empat bulan tersebut dari suami, apakah memilih untuk menggauli kembali isterinya tersebut atau menetapkan untuk men-thalaq isterinya tersebut.

D.    Munasabah Ayat
Ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 226-227 yang sebagai dasar dari perkara ila’ bermunasabah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 225
لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya :
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 225)
Yang mana hadits sebelumnya ini, masih membahas mengenai sumpah yang hanya dilakukan dalam hati. Dan hal ini masih merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya mengenai penggunaan nama Allah dalam sumpah.
Sedangkan mengenai ayat setelahnya, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228 pun masih memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, ayat 227 yang merupakan penyelesaian perkara ila’ setelah empat bulan dengan memilih jalan talaq, sehingga kemudian dilanjutkan dengan pembahasan perihal talaq, mulai dari ayat 228 sampai ayat 232.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ
Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah : 228)
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya :
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya . Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS. al-Baqarah : 229)
E.     Hukum yang Terkandung
Firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 226-227 ini bermaksud untuk menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang – orang jahiliyah, dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya selama satu atau dua tahun, bahkan lebih. Kemudian Allah Swt menjadikan empat bulan saja untuk waktu maksimalnya, dalam waktu tersebut adalah waktu dijadikanya sebagai masa penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya dan kembali kepada istrinya atau mentalaknya[20].
Adanya ila’ sesungguhnya mempersulit seorang wanita, dengan membiarkan ia terkatung katung dalam kehidupan rumah tangganya yang posisinya adalah menjadi istri atau sebagai ibu rumah tangga, dalam kondisi ila’ akan mencekam pula kedudukan istri tersebut dimana wanita tersebut adalah sebagai istri namun juga tidak seperti wanita yang diceraikan dan bebas untuk menikah kembali dengan orang lain[21].
Dari penjelasan diatas kiranya dapat diambil sebuah kesimpulan mendasar, bahwa hukum asal ila’ itu dilarang atau haram dalam kategori pada masa jahiliyah dulu, karena ila’nya adalah sampai bertahun – tahun yang hal tersebut adalah membuat diri seorang isteri tersiksa dan terkatung nasibnya.
Kemudian setelah adanya islam datang, hal ini diperbolehkan asal sebelum empat bulan berlalu, sang suami berhak mersetubuh kembali atau istilah mengatakan adalah rujuk kepada sang istri, dan ketika suami bersih keras untuk meneruskan ila’nya, maka sang istripun juga harus bersabar demi kemaslakhatan bersama. Namun jika empat bulan telah berlalu, maka hendaknya sang suami membuat keputusan yaitu tetap atau kembali ruju’ pada sang istri atau menceraikanya[22].

BAB III
P E N U T U P

A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penjelasan diatas, adalah sebagai berikut :
1.      Ila’ adalah sumpah yang dialakukan seorang suami untuk tidak mencampuri istrinya, yang oleh pendapat jumhur ulama, sumpah itu adalah sumpah untuk tidak menyetubuhinya selama-lamanya, sehingga berdasarkan ayat ini maka seorang isteri berhak menyanyakan keputusan suaminya setelah menunggu selama empat bulan untuk merujuknya kembali atau memilih untuk men-talaq isterinya tersebut.
2.      Masa selama 4 bulan ini disebut dengan masa menunggunya seorang isteri terhadap suaminya.
3.      Keputusan seorang suami untuk kembali kepada isterinya oleh pendapat jumhur dilakukan dengan cara menyetubuhi kembali isterinya.
4.      Seorang suami oleh pendapat jumhur juga, apabila memutuskan untuk untuk kembali kepada isterinya, dan membatalkan sumpah yang telah diucapkannya maka wajib membayar denda kafarat atas sumpah yang diucapkannya.
5.      Ayat yang berkaitan dengan ini yaitu surat al-Maidah ayat 89 tentang kafarat sumpah, dan hadits yang membahas mengenai batasan-batasan dalam bersumpah
6.      Surat al-Baqarah ayat 226-227 ini bermunasabah dengan ayat 225, yang membahas mengenai sumpah, maupun ayat setelahnya, ayat 228-232, yang berkaitan dengan pembahasan talaq
7.      Hukum yang terkandung yaitu wajib hukumnya seorang suami  yang bersumaph untuk tidak lagu menyetubuhi isterinya untuk menentukan pilihannya untuk meneruskan perkawinan mereka dengan jalan kembali kepada isterinya kembali atau menceraikannya


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Perkawinan Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
al-Qurthubi, Imam. Tafsir al-Qurthubi. Terj. Fathurrahman. Jakarta : Pustaka Azzam. 2007.
ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir ath-Thabari. Terj. Ahsan Aksan. Jakarta : Pustaka Azzam. 2008.
asy-Syaukani, Muhammad. Tafsir Fathul Qadir.  Terj. Amir Hamzah Fachruddin. Jakarta : Pustaka Azzam. 2008.
as-Shuyuthi , Imam Jalaluddin., al-Mahalli, Imam Jalaluddin. Tafsir Jalalain jilid I. Bandung : Sinar Baru Algesindo. 2008.
Kamal , Abu Malik. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta : Pustaka Azam. 2007.
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Abdul Ghoffar. Jakarta : Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2001.



[1] Abu Malik Kamal bin as-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunnah,  (Jakarta : Pustaka Azam, 2007), hal. 578
[2] Muhammad asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, terjemahan  Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hal. 212
[3] Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terjemahan Fathurrahman, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), hal. 225
[4] Imam al-Qurthubi, Ibid, hal. 226 yang diambil dari HR. al-Bukhari pada pembahasan Kesaksia, bab : Bagaimana Seorang Bersumpah 2/109 dan Muslim dalam pembahasan Sumpah, bab : Larangan Bersumpah dengan Selain Nama Allah 3/167, Malik dan pembahasan Nadzar 2/480, ad-Darimi pada pembahasan Nadzar, an Ahmad dalam al-Musnad 2/7 dan 11
[5] Imam al-Qurthubi, Op.cit, hal 226-227
[6] Imam al-Qurthubi, Loc.cit, hal. 229
[7] Muhammad asy-Syaukani, Ibid, hal.
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terjemahan Abdul Ghoffar, (Jakarta : Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2001), hal. 443
[9] Imam al-Qurthubi, Ibid, hal. 233-234
[10]Imam al-Qurthubi, Op.cit, hal. 229
[11] Imam al-Qurthubi, Loc.cit,hal. 229
[12] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, terjemahan Ahsan Aksan, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hal. 739
[13] Ibnu Katsir, Ibid, hal. 443
[14] Imam al-Qurthubi,  Ibid, hal. 236-237
[15] Imam Jalaluddin as-Shuyuthi, Imam Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain jilid I, (Bandung : Sinae Baru Algesindo, 2008), hal. 121
[16] Hadits ini didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iiful Jaami’
[17] Shahih : { Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6208)}, {Shahiih Muslim (III/1271, no.1650)}, {Sunan an-Nasa’I (VII/11)}, {Sunan Ibni Majah (I/681, no.2108)}
[18] Ibnu Katsir, Ibid, hal. 444
[19] Imam al-Qurthubi, Op.cit, hal. 242
[20]Abdul Ghoffar, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007). Hal: 459
[21]Abdurrahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1996). Hal: 106-107
[22]Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007). Hal: 260-270

1 komentar:

  1. Sands Casino and Resort | Gaming and Entertainment
    We provide a fun gaming experience for you all at Sands Casino and Resort in Las Vegas. From Table Games to Table 제왕카지노 Games, our 샌즈카지노 Casino Rewards program 1xbet lets you keep what you win

    BalasHapus