Selasa, 26 Juni 2012

iddah karena suami mati


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah  Saw. sebagai wahyu dan kitab suci dan pedoman hidup bagi umat islam, isi yang terkandung didalam Al Qur’an menjelaskan segala khabar mengenai masa yang akan datang serta sejarah masa lampau dan juga aturan hukum sepanjang zaman, namun isi yang terkandung di dalamnya adakalanya bersifat rinci dan adakalanya bersifat global, yang mana butuh suatu penafsiran untuk diketahui maksud dari isi Al Qur’an tersebut.
Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya syariat islam telah mengatur segala persoalan ummat terutama dalam masalah fiqhiyah baik dalam segi ubudiyah maupun dalam segi muamalah, yang mana salah satunya adalah ayat yang terdapat dalam surah Al Baqarah ayat 234 mengenai iddah wanita yang ditinggal mati suami.
Iddah sendiri memiliki beberapa pembagian yaitu iddah talak, iddah wafat, dan lain sebagainya. Iddah menurut sarbini khatib adalah nama masa menuggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya, atau karena sedih atas meninggalnya suaminya. Dari situlah dapat diambil kesimpulan bahwasanya iddah diperintahkan oleh Allah untuk kemaslahatan umat islam sendiri yaitu agar tidak tercampur nasab antara salah satu orang dengan yang lainya.
Dalam pemaparan makalah ini pemateri hanya ingin menjelaskan apa yang terkandung di dalam surat Al Baqarah ayat 234 mengenai iddah wanita yang ditinggal mati suami tersebut, dengan beberapa aspek yang perlu diketahui, seperti hukum dan hikmah yang terkandung didalamnya. Hal ini dikarenakan dalam kenyataannya iddah sudah tidak begitu popular,  terbukti  disana-sini masih banyak kaum wanita yang baru di tinggal suaminya baik meninggal atau karena talaq, mereka keluar sekehendak hati tanpa memperdulikan bahwa dirinya dalam keadaan iddah. Itu yang masih timbul sebuah pertanyaan dikalangan masyarakat, apakah mereka benar-benar tidak tahu akan pensyari’atan iddah ini atau dikarenakan hal lainnya. Berdasarkan kenyataan ini penulis berusaha turut menyumbangkan pemikiran  dengan mencoba menganalisis tafsir dari surah Al Baqarah ayat 234 ini, mulai dari makna lafadznya hingga munasabah ayat ini dengan ayat yang lain dan juga dengan munasabahnya dengan beberapa hadits nabi. Dalam hal ini penulis berharap dapat membantu pengetahuan masyarakat mengenai masalah hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
B. Rumusan Masalah.
1.      Ayat apa yang memiliki Munasabah dengan QS. Al Baqarah Ayat 234 ?
2.      Bagaimana analisis lafadz serta tafsir QS. Al Baqarah Ayat 234 ?
3.      Apa hukum yang terkandung didalam QS.  Al Baqarah Ayat 234?
C. Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui munasabah Ayat yang berhubungan dengan QS. Al Baqarah Ayat 234
2.      Untuk mengetahui analisis lafadz serta tafsir QS. Al Baqarah Ayat 234
3.      Untuk mengetahui hukum yang terkandung didalam QS. Al Baqarah Ayat 234









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Lafadz surat Al Baqoroh Ayat 234.

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
Artinya :
“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu ( para wali ) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka ( Berhias, Bepergian, atau menerima pinangan ) menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. ( QS. Al Baqoroh : 234 )[1]
B.     Ayat dan Hadits yang berhubungan dengan QS. Al Baqoroh ayat 234.

Pada surat Al Baqoroh ayat 234 telah dijelaskan bahwa masa iddah untuk perempuan yang ditinggal mati suaminya dan hukum syara’ yang terkait dengan masa iddah itu. Masa iddah mereka adalah empat bulan sepuluh hari, sesuai firman Allah SWT.

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
Artinya :
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS Al-Baqarah  : 234 ).
           
Ayat ini menurut para ahli tafsir memiliki hubungan nasikh mansukh dengan ayat setelahnya,[2] yaitu surat Al Baqarah ayat 240 yang berbunyi :
tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB šÆù=yèsù þÎû  ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îƒÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ  
Artinya :
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu ( wali atau waris dari yang meninggal ) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana." ( Al-Baqarah : 240 ).
Dilihat dari surat Al Baqoroh ayat 240 ini, maka persoalan ‘iddah (masa menunggu) perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya adalah satu tahun penuh. Sementara pada Surat Al Baqoroh ayat 234 menyebutkan bahwa masa menunggu ( iddah ) perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya  tersebut adalah empat bulan sepuluh hari. Para ulama memandang bahwa Surat Al Baqoroh ayat 234 ini, meskipun secara urutannya dalam mushaf disebut lebih dahulu, adalah menghapus ( nasikh ) terhadap Surat Al Baqoroh ayat 240. Hal ini dikarenakan ayat 234 yang menerangkan bahwa iddah dari seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari dari segi diturunkannya adalah belakangan. Karena memang tertib dari Mushaf  tidak sama dengan tertibnya Nuzul ( turunnya ayat ) bahkan ia hanya merupakan penempatan saja sehingga ayat tadi bisa berfungsi menasakh. Namun ulama memilih, bahwa dalam ayat ini tidak ada nasakh, yang ada hanyalah pengurangan dari satu tahun. Seperti halnya shalat mushafir yang dari empat rakaat berkurang menjadi dua rakaat. Bukan berarti menasakh akan tetapi meringankan saja. Dan sebagian dari para ulama menyebut penghapusan ini sebagai “nasakh al-hukm duna tilawah” ( menghapus hukumnya, bukan menghapus bacaan / tulisannya).[3]
Sedangkan hadits yang berhubungan dengan ayat ini adalah :
Hadits yang menerangkan tentang Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya
عن زينب بنت ام سلمة قالت امّ حببيبة سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لا يحلّ لامرأة تؤمن بالله واليوم الاخر تحدّ على ميت فوق ثلاثة أيام الا على زوج اربعة اشهر وعشرا
Artinya  :
Dari Zainab binti Ummu Salamah dari Ummu Habibah ra. Berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:” tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung atas orang yang mati lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka masa berkabungnya selama empat bulan sepuluh hari.”
 Iddah Atas Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya Sebelum Terjadi Senggama
عن عبراهيم عن علقمة عن ابن مسعود انّه سئل عن رجل تزوج امرأة ولم يفرض لها صداقا ولم يدخل بها حتى مات قال ابن مسعود لها مثل صداق نسائها لا وكس ولا شطط وعليها العدة ولها الميرات فقام معقل بن سنان الاشجعي فقال قضى فينا رسول الله ص م فى بروع بنت واشق امرأة منّا مثل ما قضيت ففرح ابن مسعود رضى الله عنه
Artinya :
Dari Ibrahim dari Alqamah berkata:Ketika Ibnu Mas’ud ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita, kemudian ia mati sebelum memberikan mas kawin pada istrinya dan juga belum bersenggama dengannya. Jawab Ibnu Mas’ud: Istrinya tetap berhak mendapatkan mas kawin, tidak boleh kurang atau lebih, dan atasnya berlaku iddah serta ia berhak mendapat warisan”. Maka berdirilah Ma’qil ibnu Sinan Al Asyja’i dan berkata: “Rasulullah saw telah memutuskan masalah Barwa’ binti Wasyq, sebagaimana yang putuskan. Ia adalah seorang wanita kaum kami.” Karena itu Ibnu Mas’ud menjadi senang.”
C.    Analisis Lafadz

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
Artinya :
“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya ( ber'iddah ) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. ( QS. Al Baqoroh : 234 )
Dalam Ayat 234 surat Al Baqoroh ini dapat dianalis beberapa lafadznya[4], yang diantaranya yaitu : diantaranya pada lafadz يتوفّون dalam ayat ini memiliki arti يموتون   ( mati ), asal makna dari lafadz ini adalah التّو فّى yaitu bermakna أخذ الشيئ وافيا كاملا ( mengambil sesuatu secara tepat dan sempurna ). Maka barangsiapa mati, berarti telah dipenuhi umur dan rizkinya. Sedangkan dalam segi i’rabnya lafadz  والذين يتوفّون منكم   ada dua segi wajah yaitu :
Wajah yang pertama : Bahwa kata والذين menjadi Mubtada’ dan lafadz  يتوفّون  adalah Mudlari’ mabni majhul, sedangkan khobarnya dibuang yang mana kira-kiranya adalah sebuah kalimat :
 فيما يتلي عليكم حكم الذين يتوفّون   yang memiliki makna “ dalam ayat yang dibacakan kepadamu terdapat hukum orang-orang yang mati”.
Sedangkan wajah kedua : Bahwa Mubtada’ dalam ayat ini dibuang, dan kata الذين menempati tempatnya mubtada’, yang mana kira-kiranya adalah :وازواج الذين يتوفّون منكم    yang memilik arti : “ dan isteri isteri orang yang meninggalkan kamu”. Adanya kata yang dibuang itu ditunjukkan oleh firmannya ويذرون أزواج   dan mereka meninggalkan isteri-isteri. Kemudian sebagai khabarnya adalah kata يتربّصن   yang bermakna mereka menanti. Menurut imam At Thabari dalam kitab Jamiul bayannya menyatakan bahwa Khabar dari lafadz   الذين يتوفّون ditinggalkan, hal ini dikarenakan yang  dimaksud adalah bukan khabar tentang mereka, akan tetapi maksud dari khabar tersebut adalah tentang kewajiban atas wanita-wanita yang beriddah yang ditinggal mati oleh suaminya. Maka khabar dari mereka tersebut dialihkan kepada isteri-isteri mereka. 
            Dari analisis lafadz diatas dapat diambil intisari tafsirnya, yaitu :
1.      Untuk kata التّو فّى   disini memiliki arti الموت  ( mati ), dalam memakai ungkapan bahasa yang fasih, dikatakan تُوُفّي فلان   ( sifulan telah diwafatkan ), dengan bentuk mabni maf’ul, bahkan jika ungkapan dengan isim fa’il ( mabni ma’lum ),  oleh sebagian para ahli nahwu dianggap sebagai  suatu ungkapan yang salah. Karena  ( ruh )  dia dicabut, bukan mencabut. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu aswad Ad Du’ali, ia berada dibelakang jenazah, maka seorang lelaki bertanya kepadanya من الموتى ( siapa yang mematikan?  ) Dia menjawab Allah SWT. Maka atas sebab inilah hukum- hukum nahwu diletakkan. Jadi, lafadz الذين يتوفّون    dalam ayat ini mempunyai arti orang orang yang wafat atau orang yang meninggal dunia[5].
2.      Untuk lafadzأزواج    disini memiliki arti النساء   ( wanita ). Orang arab menamakan laki-laki dengan زوج  dalam artian seorang suami, dan untuk isterinya dengan kata   زوج (pasangannya ). Kadang juga mereka juga memberi tambahan ta’ sehingga menjadi زوجة namun kata ini tidak fasih. Kata الزّوج  dipakai untuk laki laki dan perempuan. Pada dasarnya, ia adalah bilangan yang terdiri dari dua. Maka masing masing dari laki- laki dan perempuan disebut زّوج ( Zauj ) , karena hakikat zauj itu terdiri dari dua hal yang bersatu sehingga menjadi sesuatu yang satu. Oleh karena itu pada mereka berdua dipakai satu lafadz. Hal ini dikarenakan walaupun dari segi lahirnya mereka dua akan tetapi mereka dalam segi batinnya adalah sesuatu yang satu. Dan pasangan itu memang bersatu, sehingga tiap-tiap yang satu seolah mewakili yang lain. Dalam lafadz ini merupakan penggalan dari kalimat منكم ويذرون أزواج   yang memiliki arti diantara kamu meninggalkan isteri isteri.[6]
3.      Untuk kata  يتربّصن  memiliki makna الإنتظار  yang memilik arti menanti. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat At Taubah ayat 24, yang berbunyi :
(#qÝÁ­/uŽtIsù 4Ó®Lym šÎAù'tƒ ª!$# ¾Ín͐öDr'Î/ 3  
Artinya : “ Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya”.
Dalam hal ini lafadz  يتربّصن disini memiliki arti “maka mereka menangguhkan” yang merupakan penggalan dari kalimat  يتربّصن بانفسهنّ أربعة اشهر وعشرا yang keseluruhannya memiliki makna “ dan hendaklah para istri itu menahan diri mereka untuk kawin setelah suaminya meninggal itu selama empat bulan dan sepuluh hari”. Pengertian ini dikhususkan bagi wanita-wanita yang tidak hamil. Sedangkan bagi wanita yang hamil iddah mereka sampai melahirkan kandungannya berdasarkan ayat dalam surat At Thalaq , sedangkan bagi wanita budak adalah setengah dari  ketentuan ini berdasarkan as sunnah.
4.      Untuk kata الأجل   dalam kalimat بلغن أجلهن   mempunyai makna المدّة المضروبة للشّيئ ( masa yang telah ditentukan untuk sesuatu ). Maka dikatakan, masa yang telah ditentukan bagi manusia dinamakan ajal. Dan yang dimaksud dalam ayat ini adalah “ habisnya Masa Iddah’. Yang kemudian lafadz selanjutnya  فلاجناح عليكم فيما فعلنفى أنفسهنّ بالمعروف   Mereka tiada dosa bagimu wahai para wali membiarkan mereka berbuat pada diri mereka, misalnya bersolek, dan menyiapkan diri untuk pinangan secara baik-baik dalam artian baik menurut agama.
5.      Untuk kata الخبير    mempunyai arti mengetahui segala sesuatu yang baik. Baik itu merupakan suatu hal yang samar ataupun yang nyata. Sehingga suatu yang samarpun tidak lagi rahasia bagi Allah. Sehingga makna dari keseluruhan penggalan kalimat والله بما
  تعملون خبير  memiliki pengertian bahwa Allah mengetahui apa-apa yang kamu lakukan, baik sesuatu yang lahir, maupun yang batin.

D.    Munasabah Ayat
Isi kandungan hukum dalam QS. Al Baqarah Ayat 234 adalah tentang hukum batasan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, akan tetapi apabila perempuan tersebut ditinggal mati suaminya ketika hamil maka menurut jumhur  Ulama’ iddahnya sampai melahirkan, karena berpegang pada firman Allah SWT. surat at -  Thalaq ayat 4, yang menjelaskan tentang batasan iddah untuk orang hamil itu adalah  sampai melahirkan, sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 234 masih dalam konteks umum. Jadi ayat ini masih punya hubungan juga dengan surat At Thalaq ayat 4.
Ayat ini juga masih erat kaitannya dengan ayat yang sebelumnya. Pada ayat sebelum ini, yaitu pada ayat 227 ini menerangkan tentang talaq, yang dapat kita ketahui bahwa talaq itu sendiri erat kaitannya dengan iddah seorang wanita. Kemudian selanjutnya pada ayat 228 merupakan suatu perintah pada isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka ( dari berkawin) selama tiga kali suci ( dari haid). Perintah menunggu ini merupakan suatu perintah untuk beriddah secara global saja, yang kemudian selanjutnya terdapat perincian-perincian sesuai dengan keadaan cerai seorang isteri tersebut.[7]
Pada ayat setelahnya, ayat ini juga masih mempunyai keterkaitan. Pada ayat 235 menerangkan tentang hukum kebolehan atau keharaman meminang seorang wanita yang masih dalam masa iddah, terutama iddah yang dikarenakan meninggalnya suami.[8] Sedangkan pada ayat setelahnya, yaitu ayat 236, dan ayat 237 juga menerangkan tentang hak atas mahar bagi seorang isteri ketika isteri tersebut dicerai, baik karena cerai talak ataupun karena cerai ditinggal mati.[9]
           
E.     Kandungan Hukum QS. Al Baqoroh Ayat 234
Ayat ini merupakan perintah Allah bagi kaum wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu suatu perintah agar mereka menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan menurut ketetapan Ijma’, ketetapan ini berlaku bagi isteri yang sudah dicampuri maupun yang belum dicampuri.[10]
Tidak dikecualikan dari ketentuan diatas selain isteri yang ditinggal mati suaminya ketika ia sedang hamil. Maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan.[11] Hal ini didasarkan pada keumuman firman Allah SWT :
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ  
Artinya : dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.   ( Qs. At Thalaq : 4 )

Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa seorang perempuan yang sedang hamil dan ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan anak, sesuai dengan bunyi ayat Al Qur’an diatas. Meskipun dia juga kematian suami, namun tidak tunduk kepada ayat yang mengatur perempuan yang iddah dikarenakan kematian suami.[12]  Hal ini sebagaimana riwayat hadits  Imam Muslim, yang berbunyi :

أنها كانت تحت سعد بن خولة وهو في بنى عامر بن لؤي وكان ممن شهد بدرا فتوفى عنها في حجة الوداع وهى حامل فلم تنشب أن وضعت حملها بعد وفاته فلما تعلت من نفاسها تجملت للخطاب فدخل عليها أبو السنابل بن بعكك رجل من بنى عبد الدار فقال لها مالي أراك متجملة لعلك ترجين النكاح إنك والله ما أنت بناكح حتى تمر عليك أربعة أشهر وعشر قالت سبيعة فلما قال لي ذلك جمعت على ثيابي حين أمسيت فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألته عن ذلك فأفتاني بأنى قد حللت حين وضعت حملي وأمرني بالتزوج إن بدا لي قال بن شهاب فلا أرى بأسا أن تتزوج حين وضعت وإن كانت في دمها غير أنه لا يقربها زوجها حتى تطهر

Sedangkan menurut imam Ibnu Abbas, iddah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya adalah masa terpanjang antara melahirkan anak dan empat bulan sepuluh hari. Artinya apabila setelah melahirkan waktunya belum sampai empat bulan sepuluh hari, maka dia beriddah dengan iddah empat bulan sepuluh hari. Dan sebaliknya apabila setelah habis waktu empat bulan sepuluh hari dia belum melahirkan, maka dia beriddah sampai melahirkan.[13]
Para ulama’ ahli fiqh sepakat mewajibkan seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya selama masa iddah untuk ihdad ( berkabung ).[14] Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya wajib berihdad selama masa iddahnya, yaitu  selama masa empat bulan sepuluh hari. Adapun dalil yang digunakan oleh Sayyid sabiq ini adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan secara jamaah selain turmudzi dari ibnu ‘Athiyah, yang berbunyi  :
لا تحدّ على ميت فوق ثلاثة أيام الا على زوج اربعة اشهر وعشرا
Artinya : “ Seorang wanita tidak boleh berihdad ( berkabung ) atas kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suami, maka ia berihdad  ( berkabung ) selama empat bulan sepuluh hari”.
Adapun hadits yang juga berkaitan dengan QS. Al Baqarah Ayat 234 yang mengenai larangan-larangan dalam masa iddah yang disebut masa berkabung  ( ihdad ), ada 5 ( lima ) perkara, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak diperbolehkan menggunakan wangi-wangian dalam segala jenisnya. (HR Bukhari No. 5027 ).[15]
حدثني عبد الله بن عبد الوهاب: حدثنا حماد بن زيد، عن أيوب، عن حفصة، عن أم عطية قالت: كنا ننهى أن نحد على ميت فوق ثلاث إلا على زوج، أربعة أشهر وعشرا، ولا نكتحل، ولا نطيب، ولا نلبس ثوب مصبوغا إلا ثوب عصب، وقد رخص لنا عند الطهر، إذا اغتسلت إحدانا من محيضها، في نبذة من كست أظفار، وكنا ننهى من اتباع الجنائز
Kedua, tidak boleh berhias di badan, semisal menggunakan celak dan lain sebagainya. (HR Bukhari No 5025 ).[16]
حدثنا أدم بن أبي إياس: حدثنا شعبة: حدثنا حميد بن نافع، عن زينب بنت أم سلمة، عن أمها:
أن امرأة توفي زوجها، فخشوا على عينيها، فأتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم فاستأذنوه في كحل، فقال: (لا تكتحل، قد كانت إحداكن تمكث في شر أحلاسها، أو شر بيتها، فإذا كان حول فمر كلب رمت ببعرة، فلا حتى تمضي أربعة أشهر وعشر) وسمعت زينب بنت أم سلمة تحدث، عن أم حبيبة: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا يحل لامرأة مسلمة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تحد فوق ثلاث أيام، إلا على زوجها أربعة أشهر وعشرا) [
2550]

Ketiga, tidak boleh dia bersolek dengan baju (tazayyun bi tsiyab) yang memang dimaksudkan untuk berhias. (HR Bukhari No. 5028 ).[17]
حدثنا الفضل بن دكين: حدثنا عبد السلام بن حرب، عن هشام، عن حفصة، عن أم عطية قالت: قال النبي صلى الله عليه وسلم:
(لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تحد فوق ثلاث إلا على زوج، فإنها لا تكتحل ولا تلبس ثوب مصبوغا إلا ثوب عصب) وقال الأنصاري: حدثنا هشام، حدثنا حفصة: حدثتني أم عطية: نهى النبي صلى الله عليه وسلم: ولا تمس طيبا، إلا أدنى طهرها إذا طهرت نبذة من قسط وأظفار
[
5028]
Keempat, tidak boleh dia menggunakan perhiasan dalam segala jenisnya, seperti kalung, gelang, termasuk cincin. Dalilnya hadis Ummu Salamah RA bahwa wanita yang berkabung dilarang menggunakan perhiasan (al hulli) (HR. Abu Dawud )[18]
حدثنا زهير بن حرب ثنا يحيى بن أبي بكير ثنا إبراهيم بن طهمان حدثني بديل عن الحسن بن مسلم عن صفية بنت شيبة عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال المتوفى عنها زوجها لا تلبس المعصفر من الثياب ولا الممشقة ولا الحلي ولا تختضب ولا تكتحل
Dari pemaparan ayat dan beberapa hadits yang berkaitan di atas telah jelas bahwa isi kandungan dari Surat Al Baqoroh Ayat 234 diatas, adalah :
a.     Penjelasan bahwa masa iddah seorang istri yang suaminya meninggal dunia adalah empat bulan sepuluh hari, dan di dalam hadits juga di jelaskan bahwa masa iddah seorang wanita hamba sahaya ( budak ) adalah separuhnya, yaitu dua bulan lima hari.[19]
b.     Wajib melakukan iddah bagi seorang istri yang suaminya meninggal dunia, sesuai ayat, “(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya ( ber’iddah )”, ayat ini adalah berbentuk khabar ( informasi ) yang bermakna perintah.[20]
c.      Wajibnya ihdad ( berkabung ) bagi seorang istri yang suaminya meninggal dunia. Yaitu pada masa ihdad ini ia dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki laki kepadanya, seperti perhiasan intan dan celak. Kecuali hal hal yang dianggap bukan perhiasan.[21]
d.     Wajib bagi seorang istri yang suaminya telah meninggal dunia untuk beriddah, baik istri tersebut kecil, dewasa, atau tua. Berdasarkan keumuman ayat tersebut, istrinya yang dewasa (tua) maka wajib berihdad (berkabung), dan bagi seorang istri yang masih kecil (belum baligh) maka walinya tersebut yang  bertanggung terhadap siapa saja yang berada dibawah perwaliannya untuk menjauhkannya dari hal-hal yang harus dijauhi oleh istri yang telah dewasa (ketika masa berkabung).
e.      Kewajiban atas seorang wanita menunggu dirinya selama masa iddah, yaitu dengan tidak menikah, dan tidak menawarkan diri untuk menikah.
  1. Bahwa apabila masa iddah tersebut telah selesai, maka boleh bagi wanita tersebut melakukan hal-hal yang ma’ruf (menurut yang patut bagi wanita pada umumnya) seperti berhias, keluar rumah, dan yang lainnya.
  2. Penetapan Ilmu (pengetahuan) Allah ‘Azza wajalla terhadap hal-hal yang nampak dan yang tersembunyi, sebagaimana ayat وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ disini  juga mengandung peringatan dan ancaman dari menyelisihi hukum tersebut diatas yang man arti dr ayat tersebut adalah “Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”, maknanya jauhilah dari menyelisihiNya karena sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu lakukan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Iddah merupakan suatu jenjang waktu yang ditentukan untuk menanti kesucian (kebersihan rahim) dari pengaruh hubungan suami isteri setelah isteri diceraikan ataupun ditinggal mati oleh suaminya. Iddah merupakan waktu yang biasa dipikul oleh seorang isteri setelah putusnya suatu ikatan pernikahan karena dikhawatirkan terjadi kesyubhatan dalam pengaruh hubungan  yang terjadi akibat dari sebuah pernikahan.
            Dalam iddah sendiri dibagi menjadi dua kategori utama. Pertama, iddah dikarenakan ditinggal mati oleh suaminya, dan yang kedua iddah bukan karena ditinggal mati oleh suaminya. Iddah seorang wanita yang karena ditinggal mati oleh suaminya ini dibahas di dalam QS. Al Baqarah Ayat 234.
            Seorang wanita yang dalam masa iddah karena ditinggal mati oleh suaminya juga diwajibkan untuk ihdad ( masa berkabung ). Dalam masa ihdad ini seorang wanita tidak diperbolehkan segala macam perhiasan yang dapat menarik perhatian seorang laki-laki kepadanya, baik itu berupa pakaian, emas, maupun celak yang tujuan pemakaiannya tersebut untuk berhias diri.






DAFTAR PUSTAKA

As Shobuniy, Muhammad Ali, 1991, Rawaiul Bayan, Juz I, Beirut : Darul Kutub Islamiyah.
Rusyd, Muhammad Ibnu, 1995, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, Semarang : Toha Putra.
Syarifuddin, Amir, 2007, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta : Kencana.
Bin Isma’il, Muhammad Abdullah, 1992, Sohih Bukhori, Juz 6, Beirut : Darul Kitab Alamiyah.
Bin Asy’as, Sulaiman, 2002,  Sunan Abi Dawud, Juz 7 , Kuwait : Darul Gheras.
Qudamah, Ibnu, 1996, Al Mughniy, Kairo : Maktabah Al Qohiroh.
Sabiq, Sayyid, 1998, Fiqih sunnah,  Juz 2, Beirut : Darul Ikhyail Turots.
Katsir, Ibnu, 2003, Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim, Juz 1, Beirut : Darul Kutub Alamiyah.
Muhammad, Jalaluddin, 1997, Tafsir Jalalain, Juz 1, Surabaya : Hidayah.
Muhammad, Husein, 2001, Ruang Lingkup Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus.
Mushaf Madinah, 2001, Al Qur’an dan Terjemahannya, Madinah : Mujma’ Malik Al Fadh.
Nurrudin, Amiur, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana.



[1] Mushaf Madinah : Al Qur’an dan Terjemahannya, ( Madinah : Mujma’ Malik al Fadh, 2001 ), hlm. 57
[2] Muhammad Ali As shobuniy, Rawaiul Bayan, Juz I, ( Beirut : Darul Kutub Islamiyah, 1991), hlm. 363.
[3] Syeikh Muhammad  Madani,  Mawâthin al-Ijtihâd fi asy-Syarî’ah al-Islâmiyah, diterjemahkan Husein Muhammad
dalam “Ruang Lingkup Hukum Islam”, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.  hlm 37-38.
[4]  Muhammad Ali As shobuniy, Rawaiul Bayan, Juz I, ( Beirut : Darul Kutub Islamiyah, 1991), hlm. 359-361.
[5] Jalaluddin Muhammad, Tafsir Jalalain, Juz 1 ( Surabaya : Hidayah, 1997 ), hlm. 36
[6]Jalaluddin Muhammad, Tafsir Jalalain, Juz 1 ( Surabaya : Hidayah, 1997 ), hlm. 36
[7] Mushaf Madinah : Al Qur’an dan Terjemahannya, ( Madinah : Mujma’ Malik al Fadh, 2001 ), hlm. 55
[8] Ibid, hlm. 57.
[9] Ibid, hlm. 58.
[10] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim, Juz : 1,( Beirut : Darul Kutub Al ‘Ilamiyah, 2003 ), hlm. 279
[11] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim, Juz : 1,( Beirut : Darul Kutub Al ‘Ilamiyah, 2003 ), hlm. 280
[12] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2007 ), hlm. 311
[13] Ibnu Qudamah, Al Mughniy, ( Kairo : Maktabah Al Qohiroh, 1996  ), hlm. 67
[14] Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah,  Juz 2 ( Beirut : Darul Ikhyail Turots, 1998 ), hlm 218
[15] Abdullah Muhammad bin Isma’il, Sohih Bukhori, Juz 6 ( Beirut : Darul Kitab Alamiyah, 1992 ) hlm. 36
[16] Abdullah Muhammad bin Isma’il, Sohih Bukhori, Juz 6 ( Beirut : Darul Kitab Alamiyah, 1992 ) hlm. 35
[17] Ibid. hlm. 36
[18] Sulaiman bin Asy’as, Sunan Abi Dawud, Juz 7 ( Kuwait : Darul Gheras, 2002 ) hlm. 71
[19]Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, ( Semarang : Toha Putra, 1995 ), hlm. 71
[20] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2007 ), hlm. 310
[21] Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, ( Semarang : Toha Putra, 1995 ), hlm. 92.

2 komentar:

  1. The BEST casino games with lots of bonuses!
    The Best Casino Games with Lots 벤 델핀 of Bonuses & No Deposit 1xbet online Bonuses✔️ 가입머니 지급 사이트 Casino Robots!✔️ Big Bonus 벳 365 가상 축구 주소 ❥️ No Deposit Bonuses✔️ Huge 벳 365 Jackpots✔️ Best Casinos

    BalasHapus
  2. NJ casinos & sports betting - JTA Hub
    Get the best value on your sports bets with JTG Sportsbook. 충청북도 출장마사지 Use our 서귀포 출장안마 exclusive promo code SPORTSRF for 하남 출장안마 a chance to earn up 삼척 출장샵 to $1000 광주 출장샵 in sports

    BalasHapus