BAB
I
PEBDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Semua
yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan kehendak Rabbnya
Yang Maha Agung. Seorang manusia tidak akan selamanya merasa bahagia dan juga
tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang
kita temui pada setiap episode kehidupan membawa pelajaran dan hikmahnya
masing-masing agar kita semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba
di muka bumi ini.
Allah
ta’ala telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki
dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan.
Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir,
tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu
dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus
berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah
akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk
pendewasaan diri.
Kali
ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta,
antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan
oleh dua hal umum yaitu, kematian dan perceraian.
Ikatan
pernikahan yang dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah yang dapat
kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga
disebabkan oleh perceraian.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ayat
Q.S. al-Baqarah: 229-230
الطَّلَقُ مَرَّتاَن فَاءِ مْسَا كُ, بِمَعْرُوفٍ
أَوْتَسْرِيحُ بِاءِحْسَنٍ, وَلاَيَحِلُّ لَكُمْ أنْ تَأْخُذُواْمِمَّآ
ءَاتَيْتُمُو هُنَّ شَيْئًا إِلاَّأَنْ يَخَافَآ أَلاَّيُقِيْمَاحُدُودَالَّلهِ
,فإِنْ خِفتُمْ أَلاَّيُقِيمَاحُدُودَالَّلهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا
افْتَدَتْ بِهِ, تِلْكَ حُدُودَالَّلهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا, وَمَنْ يَتَعَدَّ
حُدُودَالَّلهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّلِمُونَ
فإِن
طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوجًا غَيْرَهُ, فَإنْ
طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يَتَرَاجَعَآ إِنْ ظَنَّآ أَنْ
يُقِيْمَا حُدُودَالَّلهَ, وَتِلْكَ حُدُودَالَّلهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ.
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menembus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, dan janganlah kamu
melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang dzalim. (QS. 2:229) kemudian jika si suami menalaknya (sesudah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS.2:230)
B.
Ayat
dan Hadist yang Berhubungan dengan Q.S. al-Baqarah: 229-230
C.
Analisis
Lafadz
الطَّلَقُ مَرَّتاَن فَاءِ مْسَا كُ, بِمَعْرُوفٍ
أَوْتَسْرِيحُ بِاءِحْسَنٍ, وَلاَيَحِلُّ لَكُمْ أنْ تَأْخُذُواْمِمَّآ
ءَاتَيْتُمُو هُنَّ
شَيْئًا إِلاَّأَنْ يَخَافَآ
أَلاَّيُقِيْمَاحُدُودَالَّلهِ ,فإِنْ خِفتُمْ أَلاَّيُقِيمَاحُدُودَالَّلهِ فَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهِ, تِلْكَ حُدُودَالَّلهِ فَلاَ
تَعْتَدُوهَا, وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَالَّلهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّلِمُونَ
فإِن
طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوجًا غَيْرَهُ, فَإنْ
طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يَتَرَاجَعَآ إِنْ ظَنَّآ أَنْ
يُقِيْمَا حُدُودَالَّلهَ, وَتِلْكَ حُدُودَالَّلهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
“Talak (yang dapat
dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menembus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, dan janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang dzalim. (QS. 2:229) kemudian jika si suami
menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui. (QS.2:230).
Imam
Jalaludin Muhammad al-Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain-nya menafsirkan ayat { الطَّلاَقُ
} “talak” yaitu yang boleh dilakukan ruju’ padanya, { مَرَّتَانِ } “dua kali”
agar suami dimungkinkan (apabila ia tidak bermaksud memudharatkan), untuk
kembali kepada istrinya dan ia berfikir kembali pada masa tersebut, namun jika
lebih dari masa itu maka tidaklah haram baginya, karena barangsiapa yang
menalak lebih dari dua kali maka dia itu kalau bukan karena lancang terhadap
yang haram atau ia tidak mempunyai keinginan untuk meruju’, maka maksudnya
adalah memudharatkan.
Karena
itu Allah memerintahkan kepada suami tersebut untuk meruju’ istrinya, {
بِمَعْرُوفٍ } ” dengan cara yang ma’ruf”, yaitu, pergaulan yang baik yang
berlaku di antara mereka seperti apa yang berlaku pada pasangan yang semisal
mereka, dan inilah yang lebih kuat, bila tidak, maka hendaklah menceraikan dan
meninggalkannya, { بِإِحْسَانٍ } “dengan cara yang baik”.
Di
antara cara yang baik itu adalah tidak mengambil sesuatu pun dari harta
istrinya kaena perceraian tersebut, karena tindakan itu adalah kezhaliman dan
mengambil harta tanpa ada timbal baliknya sedikitpun, oleh karena itu Allah
berfirman.
{ شَيْئًا إِلاَّأَنْ يَخَافَآ
أَلاَّيُقِيْمَاحُدُودَالَّلهِ وَلاَيَحِلُّ لَكُمْ أنْ تَأْخُذُواْمِمَّآ
ءَاتَيْتُمُو هُنّ } “Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah”, yaitu, melakukan khulu’ dengan cara yang ma’ruf di mana sang istri
membenci suaminya akibat kejelekan akhlak, paras atau kurangnya agamanya, dan
ia khawatir tidak dapat menaati Allah padanya. { فإِنْ خِفتُمْ أَلاَّيُقِيمَاحُدُودَالَّلهِ
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهِ
}“Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya”, karena hal itu adalah pengganti untuk mendapatkan
maksud yang dikehendakinya yaitu perpisahan.
Ayat
ini merupakan dalil disyariatkannya khulu’ apabila hikmah tersebut ditemukan. {
تِلْكَ } “itulah” yaitu apa yang telah disebutkan dari hukum-hukum syariat, حُدُودَالَّله} }
“hukum-hukum Allah” yaitu ketetapan-ketetapan Allah yang disyariatkan olehNya
bagi kalian dan Dia perintahkan untuk menjalankannya.{ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَالَّلهِ فَأُولَئِكَ
هُمُ الظَّلِمُونَ
}
“barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang
zhalim”.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, { فإِن طَلَّقَهَا
} “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua)” yaitu talak
yang ketiga, { فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ
زَوجًا غَيْرَهُ } “maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”, yaitu nikah yang sah dan
menggaulinya (jima’) dengannya, karena nikah syar’i pasti merupakan nikah yang
sah yang meliputi akad dan berjima’, dan ini telah disepakati, dan menjadi
suatu yang wajib bahwa nikah kedua itu adalah nikah atas dasar suka. Namun
apabila ia hanya bermaksud dengan nikah itu untuk membuat suami pertama halal
kembali, maka tidaklah dinamakan nikah dan tidak bisa menjadi penghalal (bagi
suami pertama) dan tidak pula jima’nya seorang tuan karena bukan seorang suami.
Apabila
suami kedua menikahinya atas dasar suka lalu dia berjima’ dengannya kemudian
dia cerai darinya dan telah habis iddahnya, { فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ
} “maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri)”, yaitu
suami pertama dan istr( يَتَرَاجَعَآ
أَنْ) “untuk kawin kembali” artinya, mereka berdua membuat akad baru
antara mereka berdua karena menyandarkan ruju’ kembali kepada keduanya. Maka
hal itu menunjukkan akan disyaratkannya saling ridha, akan tetapi dalam hal
bersatu kembali itu disyaratkan keduanya, memiliki perkiraan { أَنْ يُقِيْمَا حُدُودَالَّلهَ } ” akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah”, yaitu dengan
cara setiap dari mereka berdua harus menunaikan hak yang lainnya.
Yang
demikian itu apabila mereka berdua menyesal dengan hubungan terdahulu mereka
yang menyebabkan perpisahan dan mereka bertekad kuat untuk merubahnya dengan
hubungan yang lebih baik, maka dengan demikian tidak ada dosa bagi keduanya
untuk bersatu kembali.
Pemahaman
terbalik ayat ini menunjukkan bahwa jika mereka berdua berpendapat tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, yaitu atas dasar sangkaan yang kuat bahwasanya
kondisi mereka yang dahulu tetap akan terjadi dan hubungan yang jelek antara
mereka berdua tidak akan lenyap dan mereka berdua mendapatkan dosa, karena
segala perkara apabila tidak dijalankan padanya perintah Allah dan ditempuh
padanya ketaatan kepadaNya maka tidaklah halal mengerjakannya. Ayat ini
merupakan dalil atas seseorang bila akan mengerjakan suatu perkara pada
khususnya masalah-masalah perwalian yang besar maupun yang kecil agar ia
memandang dirinya dahulu, apabila ia memandang dirinya memiliki kemampuan untuk
itu dan ia yakin akan hal itu, maka ia boleh melakukannya, namun bila tidak
maka lebih baik ia menahan diri.
Ketika
Allah menjelaskan tentang hukum-hukum yang agung tersebut, Dia berfirman, { تِلْكَ حُدُودَالَّلهِ
}“Itulah hukum-hukum Allah”, maksudnya, syariat-syariatNya yang telah
ditetapkan, dijelaskan dan diterangkannya, تِلْكَ حُدُودَالَّلهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ “diterangkanNya kepada
kaum yang (mau) mengetahui”. Karena merekalah orang-orang yang mengambil
manfaat dengannya dan mereka bermanfaat bagi orang lain. Ini menunjukkan
keutamaan orang yang berilmu dan itu jelas, karena Allah Ta’ala menjadikan
penjelasan tentang hukum-hukumNya khusus buat mereka dan bahwa merekalah yang
dimaksudkan dengan hal tersebut, ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Ta’ala
mencintai pengetahuan hamba-hambaNya tentang hukum-hukum yang diturunkan kepada
RasulNya dan mendalaminya.
Sedanngkan
menurut tafsirnya ibnu katsir, ayat yang mulia ini telah menghilangkan
kebiasaan yang berlaku pada permulaan islam yaitu seorang laki-laki lebih
berhak merujuk istrinya meskipun ia telah menalaknya seratus kali, asalkan
masih dalam masa iddah. Manakala tradisi tersebut banyak merugikan para istri,
maka Allah membatasi meeka dengan tiga kali talak saja dan hanya membolehkan
mereka untuk merujuknya kembali pada talak pertama dan kedua saja. Mereka tidak
dibolehkan meujuk kembali setelah talak yang ketiga.
D.
Munasabah
Ayat
E.
Asbabun
Nuzul
Abu Dawud dalam an-Nasikh wal Mansukh meriwayatkan dari
Ibnu Abbas, dia berkata,”Dulu seorang suami memakan dari pemberian yang telah
dia berikan pada istrinya dan yang lainya, tanpa melihat adanya dosa pada hal
itu. Maka Allah menurunkan firma-Nya.
“Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka......”.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu
Juraji, dia berkata,”Ayat ini turun pada Tsabit bin Qais dan Habibah, istrinya.
Habibah mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah untuk kemudian meminta
diceraikan. Maka Rasulullah berkata kepada Habibah, “Apakah engkau mau mengembalikan kebun yang dia jadikan mahar untukmu? Habibah
menjawab, ‘Ya saya mau’. Lalu Rasulullah memanggil Tsabit bin Qais dan
memberitahunya tentang apa yang dilakukan istrinya. Maka Tsabit bin Qais
berkata, “Apakah dia rela melakukanya? Rasulullah menjawab, ‘Ya dia rela’.
Istrinya pun berkata, ‘Saya benar-benar telah melakukanya’. Maka turun firman
Allah.
‘...Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan
hukum-hukum Allah....”(al-Baqarah:229)
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari
Muqatil bin Hayyan, dia berkata,”Ayat ini turun untuk Aisyah binti Abdirrahman
bin Atik. Ketika itu Aisyah binti Abdirrahman menjadi istri Rifa’ah bin Wahb
bin Atik. Jadi Rifa’ah adalah anak paman Aisyah sendiri. Pada sustu ketika
Rifa’ah mencari Aisyah binti Abdirrahman dengan talak bain. Setelah itu Aisyah
binti Abdirrahaman menikah dengan Abdurrahman ibnuz-Zubair al-Qarzhi. Lalu
Abdurrahman mencerainya lagi. Maka Aisyah binti Abdirrahmanmendatangi
Rasulullah dan berkata, ‘wahai Rasulullah, Abdurrahman mecari saya sebelum
menggauli saya. Apakah saya boleh kembali kepada suami saya yang pertama?
Rasulullah menjawab,’Tidak, hingga dia
menggaulimu’.
Maka turunlah firman Allah pada
Aisyah,’Kemudian jika si suami manalaknya
(sesudah talak yang kedua), maka wanita itu tidak halal lagi baginya hingga dia
kawin dengan suami yang lain’, dan menjimanya.
Kemudian
jika suami yang lain itu menceraikanya, setelah menjimanya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) umtuk kawin kembali.”(al-Baqarah:230).
F.
Hukum
yang Terkandung
Talak
yang sesudahnya boleh dimulai kehidupan berumah tangga (yakni yang boleh
dirujuki) itu dua kali. Apabila talak ini sudah terjadi dua kali, tidak ada
jalan untuk rujuk kembali kecuali dengan syarat sebagaimana ditetapkan oleh
nash ayat selanjutnya. Yaitu si istri kawin lagi dengan lelaki lain, kemudian
suaminya yang baru ini diceraikanya secara wajar, bukan rekayasa, dan tidak
melakukan rujuk. Maka wanita telah tertalak ba’in. Pada waktu itu bolehlah
kawin kembali dengan suaminya yang pertama dengan nikah baru, kalau ia menyukai
kawin kembali denganya.
Apabila
terjadi talak pertama, maka pada masa iddah si suami punya hak untuk merujuknya
dengan tiddak perlu melakukan akad nikah baru. Akan tetapi, bila masa iddah itu
dibiarkan hingga hingga habis maka si istri telah lepas darinya. Dia tidak
dapat kembali lagi kepadanya kecuali dengan akad dan mahar yang baru lagi.
Apabila dia merujukinya ketika masih dalam iddah, atau dia mengawininya kembali
setelah terjadi talak ba’in sughra, maka dia bisa menjatuhkan talak padanya
sebagaimana talak pertama tadi dengan segala hukumnya. Adapun jika dia telah
menalaknya tiga kali maka telah terjadilah talak ba’in kubra dan dia tidak
boleh merujuknya ketika masih dalam masa iddah atau mengawininya kembali
setelah habis masa iddanya. Kecuali setelah bekas istrinya itu kawin dengan
lelaki lain, lalu terjadi perceraian secara wajar dan telah ba’in habis
iddahnya pula dari suami kedua ini serta tidak dirujukinya.atau telah terjadi
beberapa kali talak ddengan suami yang kedua ini. Maka pada waktu itu boleh ia
nikah kembali dengan bekas suami yang pertama.
Talak
pertama merupakan ujian dan cobaan, dan talak kedua merupakan pengalaman lain
dan ujian terakhir. Jika kehiupan rumah tangganya baik setelah itu maka hal itu
adalah bagus. Akan tetapi bila kehidupanya tidak romantis, maka hal itu menjadi
indikator ynag menujukkan telah rusaknya fondasi bangunan kehidupan rumah
tangganya yang tidak dapt diperbaiki lagi.
Tetapi,
bagaimanapun talak itu tidak seyogyanya dilakukan melainkan untuk menjadi obat
terakhir terhadap penyakit yang tidak diobati dengan obat lain. Apabila terjadi
talak dua maka (setelah) itu hendaklah si suami menahan istrinya (merujuknya)
dengan cara yang patut dan memulai lagi kehidupan suami istri dengan rela hati
dan lapang dada atau melepaskanya dengan baik, tidak menyulitknya dan
menyakitinya. Itulah talak ketiga yang setelah itu si istri harus menempuh
jalan hidup yang baru. Inilah syariat yang realitas didalam menghadapi kondisi
riil dengan pemecahan yang praktis. Islam tidak memungkiri kenyataan ini karena
tidak ada gunanya memungkirinya dan tidak mengembalikan moralitas anak manusia
ke jalan lain yang tidak sesuai dengan fitrahnya yang telah diciptakan Allah
atas mereka. Islam tidak mengabaikanya karena tidak ada gunanya mengabaikanya
(sebab bertentangan dengan fitrah).
Pada
talak juga berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu:
1. Talak
hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan berumah tangga, pasangan suami
istri sering bertikai.
2. Talak
hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan
hak-hak Allah seperti shalat, puasa dll.
3. Talak
hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri
dibutuhkan.
4. Talak
hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak
karena hubungan keduanya harmonis
5. Talak
hukumnya menjadi haram, apabila seorang suami menalak istrinya dalam keadaan
haidh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar