Selasa, 26 Juni 2012

talak



BAB I
PEBDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Semua yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan kehendak Rabbnya Yang Maha Agung. Seorang manusia tidak akan selamanya merasa bahagia dan juga tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang kita temui pada setiap episode kehidupan membawa pelajaran dan hikmahnya masing-masing agar kita semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba di muka bumi ini.
Allah ta’ala telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan. Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri.
Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan perceraian.
Ikatan pernikahan yang dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah yang dapat kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga disebabkan oleh perceraian.
                                                  





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ayat Q.S. al-Baqarah: 229-230

الطَّلَقُ مَرَّتاَن فَاءِ مْسَا كُ, بِمَعْرُوفٍ أَوْتَسْرِيحُ بِاءِحْسَنٍ, وَلاَيَحِلُّ لَكُمْ أنْ تَأْخُذُواْمِمَّآ ءَاتَيْتُمُو هُنَّ شَيْئًا إِلاَّأَنْ يَخَافَآ أَلاَّيُقِيْمَاحُدُودَالَّلهِ ,فإِنْ خِفتُمْ أَلاَّيُقِيمَاحُدُودَالَّلهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهِ, تِلْكَ حُدُودَالَّلهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا, وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَالَّلهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّلِمُونَ
فإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوجًا غَيْرَهُ, فَإنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يَتَرَاجَعَآ إِنْ ظَنَّآ أَنْ يُقِيْمَا حُدُودَالَّلهَ, وَتِلْكَ حُدُودَالَّلهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ.

 “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah  itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menembus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, dan janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang dzalim. (QS. 2:229) kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang  (mau) mengetahui. (QS.2:230)

B.     Ayat dan Hadist yang Berhubungan dengan Q.S. al-Baqarah: 229-230


C.    Analisis Lafadz


الطَّلَقُ مَرَّتاَن فَاءِ مْسَا كُ, بِمَعْرُوفٍ أَوْتَسْرِيحُ بِاءِحْسَنٍ, وَلاَيَحِلُّ لَكُمْ أنْ تَأْخُذُواْمِمَّآ ءَاتَيْتُمُو هُنَّ
شَيْئًا إِلاَّأَنْ يَخَافَآ أَلاَّيُقِيْمَاحُدُودَالَّلهِ ,فإِنْ خِفتُمْ أَلاَّيُقِيمَاحُدُودَالَّلهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهِ, تِلْكَ حُدُودَالَّلهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا, وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَالَّلهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّلِمُونَ
فإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوجًا غَيْرَهُ, فَإنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يَتَرَاجَعَآ إِنْ ظَنَّآ أَنْ يُقِيْمَا حُدُودَالَّلهَ, وَتِلْكَ حُدُودَالَّلهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah  itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menembus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, dan janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang dzalim. (QS. 2:229) kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang  (mau) mengetahui. (QS.2:230).

Imam Jalaludin Muhammad al-Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain-nya menafsirkan ayat { الطَّلاَقُ } “talak” yaitu yang boleh dilakukan ruju’ padanya, { مَرَّتَانِ } “dua kali” agar suami dimungkinkan (apabila ia tidak bermaksud memudharatkan), untuk kembali kepada istrinya dan ia berfikir kembali pada masa tersebut, namun jika lebih dari masa itu maka tidaklah haram baginya, karena barangsiapa yang menalak lebih dari dua kali maka dia itu kalau bukan karena lancang terhadap yang haram atau ia tidak mempunyai keinginan untuk meruju’, maka maksudnya adalah memudharatkan.
Karena itu Allah memerintahkan kepada suami tersebut untuk meruju’ istrinya,        { بِمَعْرُوفٍ } ” dengan cara yang ma’ruf”, yaitu, pergaulan yang baik yang berlaku di antara mereka seperti apa yang berlaku pada pasangan yang semisal mereka, dan inilah yang lebih kuat, bila tidak, maka hendaklah menceraikan dan meninggalkannya, { بِإِحْسَانٍ } “dengan cara yang baik”.
Di antara cara yang baik itu adalah tidak mengambil sesuatu pun dari harta istrinya kaena perceraian tersebut, karena tindakan itu adalah kezhaliman dan mengambil harta tanpa ada timbal baliknya sedikitpun, oleh karena itu Allah berfirman.
      {  شَيْئًا إِلاَّأَنْ يَخَافَآ أَلاَّيُقِيْمَاحُدُودَالَّلهِ وَلاَيَحِلُّ لَكُمْ أنْ تَأْخُذُواْمِمَّآ ءَاتَيْتُمُو هُنّ } “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah”, yaitu, melakukan khulu’ dengan cara yang ma’ruf di mana sang istri membenci suaminya akibat kejelekan akhlak, paras atau kurangnya agamanya, dan ia khawatir tidak dapat menaati Allah padanya. { فإِنْ خِفتُمْ أَلاَّيُقِيمَاحُدُودَالَّلهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهِ }“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”, karena hal itu adalah pengganti untuk mendapatkan maksud yang dikehendakinya yaitu perpisahan.
Ayat ini merupakan dalil disyariatkannya khulu’ apabila hikmah tersebut ditemukan. { تِلْكَ } “itulah” yaitu apa yang telah disebutkan dari hukum-hukum syariat, حُدُودَالَّله} } “hukum-hukum Allah” yaitu ketetapan-ketetapan Allah yang disyariatkan olehNya bagi kalian dan Dia perintahkan untuk menjalankannya.{   وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَالَّلهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّلِمُونَ } “barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim”. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, { فإِن طَلَّقَهَا } “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua)” yaitu talak yang ketiga, { فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوجًا غَيْرَهُ } “maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”, yaitu nikah yang sah dan menggaulinya (jima’) dengannya, karena nikah syar’i pasti merupakan nikah yang sah yang meliputi akad dan berjima’, dan ini telah disepakati, dan menjadi suatu yang wajib bahwa nikah kedua itu adalah nikah atas dasar suka. Namun apabila ia hanya bermaksud dengan nikah itu untuk membuat suami pertama halal kembali, maka tidaklah dinamakan nikah dan tidak bisa menjadi penghalal (bagi suami pertama) dan tidak pula jima’nya seorang tuan karena bukan seorang suami.
Apabila suami kedua menikahinya atas dasar suka lalu dia berjima’ dengannya kemudian dia cerai darinya dan telah habis iddahnya, { فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ } “maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri)”, yaitu suami pertama dan istr(  يَتَرَاجَعَآ أَنْ) “untuk kawin kembali” artinya, mereka berdua membuat akad baru antara mereka berdua karena menyandarkan ruju’ kembali kepada keduanya. Maka hal itu menunjukkan akan disyaratkannya saling ridha, akan tetapi dalam hal bersatu kembali itu disyaratkan keduanya, memiliki perkiraan { أَنْ يُقِيْمَا حُدُودَالَّلهَ } ” akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah”, yaitu dengan cara setiap dari mereka berdua harus menunaikan hak yang lainnya.
Yang demikian itu apabila mereka berdua menyesal dengan hubungan terdahulu mereka yang menyebabkan perpisahan dan mereka bertekad kuat untuk merubahnya dengan hubungan yang lebih baik, maka dengan demikian tidak ada dosa bagi keduanya untuk bersatu kembali.
Pemahaman terbalik ayat ini menunjukkan bahwa jika mereka berdua berpendapat tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, yaitu atas dasar sangkaan yang kuat bahwasanya kondisi mereka yang dahulu tetap akan terjadi dan hubungan yang jelek antara mereka berdua tidak akan lenyap dan mereka berdua mendapatkan dosa, karena segala perkara apabila tidak dijalankan padanya perintah Allah dan ditempuh padanya ketaatan kepadaNya maka tidaklah halal mengerjakannya. Ayat ini merupakan dalil atas seseorang bila akan mengerjakan suatu perkara pada khususnya masalah-masalah perwalian yang besar maupun yang kecil agar ia memandang dirinya dahulu, apabila ia memandang dirinya memiliki kemampuan untuk itu dan ia yakin akan hal itu, maka ia boleh melakukannya, namun bila tidak maka lebih baik ia menahan diri.

Ketika Allah menjelaskan tentang hukum-hukum yang agung tersebut, Dia berfirman, {  تِلْكَ حُدُودَالَّلهِ }“Itulah hukum-hukum Allah”, maksudnya, syariat-syariatNya yang telah ditetapkan, dijelaskan dan diterangkannya, تِلْكَ حُدُودَالَّلهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ  “diterangkanNya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. Karena merekalah orang-orang yang mengambil manfaat dengannya dan mereka bermanfaat bagi orang lain. Ini menunjukkan keutamaan orang yang berilmu dan itu jelas, karena Allah Ta’ala menjadikan penjelasan tentang hukum-hukumNya khusus buat mereka dan bahwa merekalah yang dimaksudkan dengan hal tersebut, ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mencintai pengetahuan hamba-hambaNya tentang hukum-hukum yang diturunkan kepada RasulNya dan mendalaminya.
Sedanngkan menurut tafsirnya ibnu katsir, ayat yang mulia ini telah menghilangkan kebiasaan yang berlaku pada permulaan islam yaitu seorang laki-laki lebih berhak merujuk istrinya meskipun ia telah menalaknya seratus kali, asalkan masih dalam masa iddah. Manakala tradisi tersebut banyak merugikan para istri, maka Allah membatasi meeka dengan tiga kali talak saja dan hanya membolehkan mereka untuk merujuknya kembali pada talak pertama dan kedua saja. Mereka tidak dibolehkan meujuk kembali setelah talak yang ketiga.



D.    Munasabah Ayat

E.     Asbabun Nuzul

Abu Dawud dalam an-Nasikh wal Mansukh meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata,”Dulu seorang suami memakan dari pemberian yang telah dia berikan pada istrinya dan yang lainya, tanpa melihat adanya dosa pada hal itu. Maka Allah menurunkan firma-Nya.
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka......”.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Juraji, dia berkata,”Ayat ini turun pada Tsabit bin Qais dan Habibah, istrinya. Habibah mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah untuk kemudian meminta diceraikan. Maka Rasulullah berkata kepada Habibah, “Apakah engkau mau mengembalikan kebun yang dia jadikan mahar untukmu? Habibah menjawab, ‘Ya saya mau’. Lalu Rasulullah memanggil Tsabit bin Qais dan memberitahunya tentang apa yang dilakukan istrinya. Maka Tsabit bin Qais berkata, “Apakah dia rela melakukanya? Rasulullah menjawab, ‘Ya dia rela’. Istrinya pun berkata, ‘Saya benar-benar telah melakukanya’. Maka turun firman Allah.
‘...Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah....”(al-Baqarah:229)
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan, dia berkata,”Ayat ini turun untuk Aisyah binti Abdirrahman bin Atik. Ketika itu Aisyah binti Abdirrahman menjadi istri Rifa’ah bin Wahb bin Atik. Jadi Rifa’ah adalah anak paman Aisyah sendiri. Pada sustu ketika Rifa’ah mencari Aisyah binti Abdirrahman dengan talak bain. Setelah itu Aisyah binti Abdirrahaman menikah dengan Abdurrahman ibnuz-Zubair al-Qarzhi. Lalu Abdurrahman mencerainya lagi. Maka Aisyah binti Abdirrahmanmendatangi Rasulullah dan berkata, ‘wahai Rasulullah, Abdurrahman mecari saya sebelum menggauli saya. Apakah saya boleh kembali kepada suami saya yang pertama? Rasulullah menjawab,’Tidak, hingga dia menggaulimu’.
Maka turunlah firman Allah pada Aisyah,’Kemudian jika si suami manalaknya (sesudah talak yang kedua), maka wanita itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain’, dan menjimanya.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, setelah menjimanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) umtuk kawin kembali.”(al-Baqarah:230).

F.     Hukum yang Terkandung

Talak yang sesudahnya boleh dimulai kehidupan berumah tangga (yakni yang boleh dirujuki) itu dua kali. Apabila talak ini sudah terjadi dua kali, tidak ada jalan untuk rujuk kembali kecuali dengan syarat sebagaimana ditetapkan oleh nash ayat selanjutnya. Yaitu si istri kawin lagi dengan lelaki lain, kemudian suaminya yang baru ini diceraikanya secara wajar, bukan rekayasa, dan tidak melakukan rujuk. Maka wanita telah tertalak ba’in. Pada waktu itu bolehlah kawin kembali dengan suaminya yang pertama dengan nikah baru, kalau ia menyukai kawin kembali denganya.
Apabila terjadi talak pertama, maka pada masa iddah si suami punya hak untuk merujuknya dengan tiddak perlu melakukan akad nikah baru. Akan tetapi, bila masa iddah itu dibiarkan hingga hingga habis maka si istri telah lepas darinya. Dia tidak dapat kembali lagi kepadanya kecuali dengan akad dan mahar yang baru lagi. Apabila dia merujukinya ketika masih dalam iddah, atau dia mengawininya kembali setelah terjadi talak ba’in sughra, maka dia bisa menjatuhkan talak padanya sebagaimana talak pertama tadi dengan segala hukumnya. Adapun jika dia telah menalaknya tiga kali maka telah terjadilah talak ba’in kubra dan dia tidak boleh merujuknya ketika masih dalam masa iddah atau mengawininya kembali setelah habis masa iddanya. Kecuali setelah bekas istrinya itu kawin dengan lelaki lain, lalu terjadi perceraian secara wajar dan telah ba’in habis iddahnya pula dari suami kedua ini serta tidak dirujukinya.atau telah terjadi beberapa kali talak ddengan suami yang kedua ini. Maka pada waktu itu boleh ia nikah kembali dengan bekas suami yang pertama.
Talak pertama merupakan ujian dan cobaan, dan talak kedua merupakan pengalaman lain dan ujian terakhir. Jika kehiupan rumah tangganya baik setelah itu maka hal itu adalah bagus. Akan tetapi bila kehidupanya tidak romantis, maka hal itu menjadi indikator ynag menujukkan telah rusaknya fondasi bangunan kehidupan rumah tangganya yang tidak dapt diperbaiki lagi.
Tetapi, bagaimanapun talak itu tidak seyogyanya dilakukan melainkan untuk menjadi obat terakhir terhadap penyakit yang tidak diobati dengan obat lain. Apabila terjadi talak dua maka (setelah) itu hendaklah si suami menahan istrinya (merujuknya) dengan cara yang patut dan memulai lagi kehidupan suami istri dengan rela hati dan lapang dada atau melepaskanya dengan baik, tidak menyulitknya dan menyakitinya. Itulah talak ketiga yang setelah itu si istri harus menempuh jalan hidup yang baru. Inilah syariat yang realitas didalam menghadapi kondisi riil dengan pemecahan yang praktis. Islam tidak memungkiri kenyataan ini karena tidak ada gunanya memungkirinya dan tidak mengembalikan moralitas anak manusia ke jalan lain yang tidak sesuai dengan fitrahnya yang telah diciptakan Allah atas mereka. Islam tidak mengabaikanya karena tidak ada gunanya mengabaikanya (sebab bertentangan dengan fitrah). 
Pada talak juga berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu:
1.      Talak hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan berumah tangga, pasangan suami istri sering bertikai.
2.      Talak hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan hak-hak Allah seperti shalat, puasa dll.
3.      Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan.
4.      Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak karena hubungan keduanya harmonis
5.      Talak hukumnya menjadi haram, apabila seorang suami menalak istrinya dalam keadaan haidh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar